Powered By Blogger

Rabu, 23 November 2011

LAPORAN STUDI KASUS ( HERNIA )

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Kesehatan adalah modal utama bagi manusia, kesehatan merupakan bagian yang terpenting dalam menjaga kelangsungan hidup seseorang. Jika seseorang sedang tidak dalam kondisi prima, maka segala aktivitasnya terganggu seperti makan, minum, aktivitas yang biasa dilakukan sendiri tetapi saat sakit semua menjadi tidak dapat dilakukan sendiri.
Kesehatan merupakan masalah berharga dan sangat penting dalam berbagai tatanan kehidupan manusia. Perhatian masyarakat terhadap kesehatan saat ini semakin besar, sehingga meningkatkan tuntutan masyarakat terhadap perawatan yang berkualitas. Maka sebagai perawat dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat memberikan pelayanan dengan baik. Perkembangan ilmu pengetahuan tentang ilmu bedah saat ini sangat pesat. Hal ini juga harus didukung dengan peningkatan pemberian perawatan pada klien penderita penyakit bedah. Salah satu diantaranya adalah penyakit Hernia.
Hernia merupakan salah satu penyakit yang seringkali ditemui pada penderita penyakit bedah. Hernia adalah penonjolan isi perut dari rongga normal melalui suatu bagian pada dinding perut, baik secara kongenital maupun didapat (Arief Mansjoer, 2000:313). Pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan lapisan muskulo aponeurotik dinding perut, hernia terdiri atas cincin, kantong dan isi hernia (Hidayat, 2004)
Penyebab dari hernia adalah tekanan pada daerah intra abdomen yang terlalu kuat sehingga terbukanya sekat inguinal, bisa saja factor kogenital dan usia lanjut. Tekanan yang kuat misalnya, mengangkat beban berat, mengedan yang kuat dan batuk kronik. Tekanan yang terlalu kuat yang terjadi di dalam abdomen yang terus menerus mengakibatkan defek melemah dan mengakibatkan isi di dalam abdomen keluar melalui celah tersebut.
Tanda dan gejalah adalah terdapat benjolan yang hilang timbul, timbul bila terjadi peningkatan tekanan abdomen seperti mengangkat beban berat, mengedan dan batuk kronik, hilang waktu istirahat baring atau tidur. Adapun gejalah nyeri yang hebat apabila benjolan itu menetap, karena terjepit cincin hernia dan sumbatan pada pada saluran pencernaan, telah mempengaruhi gangguan vaskularisasi.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien biasanya baik, pada inspeksi diperhatikan keadaan asimetris pada kedua sisi lipatan paha, atau pada skrotum dalam posisi berdiri dan berbaring, palpasi ditemukan konsistensi benjolan dan diperiksa apakah benjolan tersebut dapat dimasukan kembali atau tidak. Pada keadaan strangulata akan timbul gejalah ileus, nyeri yang timbul lebih hebat dan kontinyu, daerah benjolan menjadi merah dan pasien menjadi gelisah. (Arief Mansjoer, 2000 : 315) dan pada pemeriksaan radiologi (USG adanya gambaran hernia).
Komplikasi yang terjadi tergatung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia, apabila terjadi perlengketan pada isi hernia dengan dinding kantong hernia sehingga isi hernia tidak dapat dimasukan kembali. Keadaan ini disebut hernia ireponibilis, isi hernia adalah omentum, karena mudah melekat pada dinding hernia dan isinya menjadi lebih besar karena inflitrasi lemak. Terjadi penekanan terhadap cincin hernia akibat makin banyaknya usus yang masuk. Keadaan ini menyebabkan gangguan isi usus diikuti dengan gangguan vaskularisasi, keadaan ini disebut hernia strangulata (Arief Mansjoer, 2000 :315).
Diagnosa banding dari hidrokel hernia adalah berdasarkan letaknya yaitu hernia inguinalis, hernia umbilicus, hernia femoralis, hernia diafragma, hernia skrotalis. Berdasarkan sifatnya hernia reponibel dan ireponibel, berdasarkan tingkatan hernia inkerserata dan hernia strangulate berdasarkan terjadinya hernia kongenital dan hernia yang didapat.
Penatalaksanaan hernia yaitu dengan pengobatan konservatif terbatas pada tindakan reposisi dan pemakian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi. Reposisi tidak dapat dilakukan pada hernia inguinalis strangulata. Tindakan konservatif terbatas pada anak, dilakukan dengan kompres air es pada lipatan paha, posisi anak trendelenburg, lalu dilakukan reposisi, setelah 6 jam apabila tidak masuk kembali maka terapi konservatif dianggap gagal. Dengan demikian tindakan satu – satunya adalah pembedahan (herniatomi) untuk mengembalikan organ dan menutup lubang hernia agar tidak terjadi kembali, apabila terjadi strangulata tindakan bedah harus dilakukan secepat mungkin sebelum terjadi nekrosis usus.
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan post herniatomi adalah gangguan rasa nyaman nyeri, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi defisit volume cairan, resiko tinggi terhadap keruskan integritas jaringan / kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan, kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi. Berdasarkan masalah keperawatan dapat memprioritaskan masalah yang akan mengancam nyawa, mengancam kesehatan dan tumbuh kembang.
Intervensi gangguan rasa nyaman nyeri adalah bina hubungan saling percaya antara klien dan perawat, rasionalnya hubungan saling percaya yang baik akan membantu dalam kemudahan dalam memberikan asuhan keperawatan, kaji lokasi nyeri, catat karakteristik nyeri, skala nyeri. Rasional: berguna dalam pengawasan keefektifan obat dan kemajuan penyembuhan. Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler. Rasional menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang. Anjurkan pada klien untuk melakukan teknik distraksi dan relaksasi. Rasionalnya: mengalihkan perhatian agar dapat mengurangi nyeri. Kolaborasi pemberian obat analgetik. Rasional obat analgetik dapat mengurangi rasa nyeri.
(Doenges, 1999).
Intervensi resiko tinggi defisit volume cairan, kaji intake dan output per 24 jam, rasionalnya mengetahui status balance cairan, kaji turgor kulit dan membran mukosa, rasionalnya mengkaji status hidrasi, kaji TTV rasionalnya sebagai data dasar mengetahui keadaan pasien, pertahankan terapy cairan intravena sesuai indikasi, rasionalnya mempertahankan status cairan tubuh, dan anjurkan peningkatan intake cairan peroral, rasionalnya mempertahankan status cairan. (Doenges, 1999)
Intervensi resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit, Kaji atau catat ukuran, kedalaman luka , perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi luka, rasionalnya tindakan ini akan memberikan informasi dasar tentang proses penyembuhan dan petunjuk untuk mengambil tindakan. Lakukan perawatan dengan mengunakan teknik aseptic untuk mencegah kontaminasi silang, rasionalnya mempercepat penyembuhan. Bersihkan luka dengan larutan normal salin, rasionalnya dapat membantu membuang sel – sel mati dan mengurangi jumlah bakteri.
Intervensi resiko tinggi infeksi, Kaji tanda – tanda vital yaitu demam dan menggigil. Rasional: dugaan adanya infeksi atau terjadinya sepsis. Lakukan perawatan luka yang yang baik dan teknik aseptic. Rasional menurunkan resiko penyebaran bakteri. Kolaborasi berikan antibiotic secara indikasi. Rasional menurunkan mikoorganisme dan menurunkan penyebaran serta pertumbuhan kuman.
Intervensi kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang perawatan post operasi. Intervensi kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang penyebab hernia dan prosedur pengobatan dan pembedahan, rasionalnya data dasar untuk pemberian intervensi selanjutnya jelaskan pada klien tenteng tujuan dan manfaat dari setiap tindakan yang dilakukan kepada klien, rasional meningkatkan pengetahuan untuk mencegah dan penanggulangan, Jelaskan pentingnya nutrisi dan cairan dalam tubuh, rasional dengan asupan nutrisi yang bergizi mempercepat proses penyembuhan luka. Anjurkan untuk mempertahankan area insisi dengan personal hygiene rasionalnya mencegah infeksi, berikan penyuluhan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Rasional meningkatkan pengetahuan klien
(Doenges, 1999)
1.2 Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan umum
Agar mahasiswa mampu mengembangkan pola pikir ilmiah dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien post herniatomi, dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Mahasiswa dapat melaksanakan pengkajian pada klien dengan post herniatomi.
2. Mahasiswa dapat merumuskan diagnosa keperawatan berdasarkan pengkajian.
3. Mahasiswa dapat menyusun rencana tindakan keperawatan berdasarkan diagnosa yang ditegakkan.
4. Mahasiswa dapat melaksanakan tindakan keperawatan sesuai rencana keperawatan yang sudah ditetapkan.
5. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
1.2.3 Batasan penulisan
Laporan ini dibagi dalam 3 BAB yaitu:
Bab I pendahuluan, yang menguraikan latar belakang, permasalahan dan peran perawat, tujuan penulisan, metode penulisan dan batasan penulisan.
Bab II adalah studi kasus dan pembahasan. Dalam studi kasus menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan. Dalam pembahasan, penulis melaporkan tentang kesenjangan antara teori dan praktek dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
Bab III adalah penutup merupakan rangkaian penulisan yang berisikan kesimpulan dan saran dari penulis. Sedangkan hal – hal lain yang merupakan lampiran dari penulisan ini adalah patofisiologi, tinjauan kasus nyata, satuan acara penyuluhan, limflet dan format konsul.
1.2.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus.




BAB II
STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN

2.1 Studi Kasus
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien, perawat perlu melakukan pengkajian melalui wawancara, pengamatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Informasi diperoleh dari klien, catatan medik dan keluarga klien. Untuk mendapat gambaran pada kasus Tn. D.T.K dengan diagnosa Hernia Inguinalis lateralis dekstra strangulate, maka dilakukan studi kasus di Ruang Bedah RSUD dr. T.C. Hillers Maumere pada tanggal 09 Agustus 2010, jam 09.00 wita.
2.1.1 Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan data yang sistemik berhubungan dengan klien dan masalahnya (Doenges, 1999). Pengkajian meliputi pengumpulan data dan penganalisaan data.
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 09 Agustus 2010 jam 09.00 klien berinisial Tn. D.T.K umur 54 tahun, jenis kelamin laki–laki, agama Khatolik, alamat Misir, pendidikan SMP, pekerjaan wiraswasta, masuk rumah sakit tanggal 05 Agustus 2010, sumber informasi yang diperoleh dari klien sendiri, keluarga dan catatan medik, penanggung jawab klien sendiri.
Riwayat kesehatan, keluhan utama klien mengatakan sakit di daerah operasi pada perut kanan bawah, keluhan lain yang menyertai klien merasa badannya panas dan sudah 4 hari belum mandi, menyikat gigi, dan mencuci rambut tapi hanya dilap saja.
Riwayat penyakit sekarang klien mengatakan pada hari Kamis, tanggal 05 Agustus 2010 jam 13.00 saat kilen mengangkat dos berat berisi kertas, tiba – tiba terasa sakit yang hebat pada perut kanan bawah (sela paha), kemudian klien jatuh pingsan, selanjutnya klien langsung diantar ke RSUD dr. T.C Hillers Maumere, klien dioperasi pada tanggal 5 Agustus 2010, menggunakan anastesi umum.
Pada saat pengkajian klien mengatakan sakit di daerah operasi (perut kanan bawah), wajah klien nampak meringis kesakitan, selalu memegang perut dan nampak berhati – hati saat bergerak. Klien mengatakan badannya terasa panas, klien nampak bertanya tentang keadaannya. Klien mengatakan sudah 4 hari belum mandi, menggosok gigi dan mencuci rambut.
Riwayat kesehatan masa lalu, klien mengatakan 3 tahun yang lalu klien pernah dioperasi di Malaysia karena penyakit yang sama. Klien tidak ada alergi obat apapun. Riwayat kesehatan keluarga Klien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang mengalami penyakit seperti ini tetapi hanya batuk pilek biasa.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan klien nampak lemah dan berbaring diatas tempat tidur, kesadaran klien komposmetis, yang ditunjuk dengan hasil pengukuran GCS diperoleh nilai total 15, dimana respon membuka mata 4, respon berbicara 5, dan respon motorik 6. Tekanan darah 110/70 mmHg, suhu 37,80c, nadi 80 x/menit, kuat dan teratur, pernapasan 22x / menit, konjungtiva merah mudah, sklera putih, bibir nampak kering, klien nampak kotor, gigi dan lidah nampak kotor, rambut kusam, ada luka operasi pada perut kanan bawah, panjang luka 10 cm dan jumlah jahitan 6 x.
Wajah meringis kesakitan kalau saat bergerak, skala nyeri sedang 4–6, klien selalu memegang perut saat bergerak, klien selalu berhati – hati saat bergerak, ditemukan nyeri tekan pada perut kanan bawah, bising usus 18 x/ menit.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 08 Agustus HB : 12,5 gr %, HT : 34 %, LED 30 mm, leukosit : 12.400 /µL dan trombosit: 175.000 /µL, limfosit :12, 0 %, monosit: 3,3, granulosit:84%, glukosa sewaktu 122 mg / dl, SGOT : 44 U/L dan SGPT : 31 U/L. pemeriksaan radiologi kesan yaitu nampak hernia inguinalis lateralis dextra strangulate.
Therapi yang diperoleh saat pengkajian cefadroxsil 2 x 1 tablet perhari, ibu profen 2 x 200 mg, dan paracetamol 2 x 1 tablet, diberikan kalau panas.


b. Analisa data
Berdasarkan hasil pengkajian, maka diperoleh data subyektif: klien mengatakan sakit didaerah operasi pada perut kanan bawah, klien mengatakan sakit saat ditekan. Data Obyektif: klien nampak meringis kesakitan, skala nyeri sedang (4), klien selalu memegang perut saat bergerak, klien selalu berhati – hati saat bergerak. Pemeriksaan tanda – tanda vital tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi : 78 x / menit, suhu: 37,8 0 c, pernapasan: 22x/menit. Masalah keperawatan adalah gangguan rasa nyaman nyeri.
Data subyektif klien mengatakan badannya panas, data obyektif pada pemeriksaan suhu: 37,8 0 c dan pada pemeriksaan laboratorium tanggal 8 Agustus hasil laboratorium leukosit: 12.400/µL. Masalah keperawatan adalah terjadinya infeksi akibat luka pembedahan.
Data subyektif klien mengatakn pernah menjalani operasi pada 3 tahun yang lalu karena penyakit yang sama. Data obyektif klien nampak bertanya tentang keadaanya. Masalah keperawatan kurang pengetahuan.
Data subyektif klien mengatakan sudah 4 hari dia belum mandi tapi hanya dilap saja. Dari hasil pengamatan menunjukan klien nampak kotor, kuku panjang dan kotor, rambut kusam, lidah dan gigi nampak kotor. Masalah keperawatan adalah kurangnya perawatan diri.

2.1.2 Diagnosa keperawatan
Berdasarkan analisa data tersebut maka dirumuskan beberapa diagnosa keperawatan yaitu: gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan pembedahan yang ditandai dengan data subyektif: klien mengatakan sakit didaerah operasi pada perut kanan bawah, klien mengatakan sakit saat ditekan. Data obyektif: klien nampak meringis kesakitan, skala nyeri sedang (4), klien selalu memegang perut saat bergerak, klien selalu berhati – hati saat bergerak. Pemeriksan tanda – tanda vital, tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi: 78 x / menit, suhu: 37,80c, pernapasan: 22x/menit.
Terjadinya infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan yang ditandai data subyektif: klien mengatakan badannya panas, data obyektif pada pemeriksaan suhu: 37,8 0c dan hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 8 Agustus hasil laboratorium leukosit:12.400/µL.
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi, yang ditandai dengan, data subyektif klien mengatakan pernah menjalani operasi pda 3 tahun yang lalu karena penyakit yang sama, data obyektif klien nampak bertanya pada perawat tentang keadaannya.
Kurang perawatan diri berhubungan dengan tindakan pembedahan yang ditandai dengan data subyektif: klien mengatakan sudah 4 hari belum mandi, menggosok gigi dan mencuci rambut, data obyektif klien nampak kotor, kuku panjang dan kotor, lidah dan gigi kotor, rambut nampak kusam.
2.1.3 Perencanan keperawatan
a. Prioritas diagnosa keperawatan
Pada tahap awal untuk menentukan prioritas masalah ada tiga hal penting yang harus diperhatikan yaitu masalah yang mengancam jiwa, masalah yang mengancam kesehatan dan masalah yang mengancam tumbuh kembang. Berdasarkan kasus nyata pada klien Tn.D.T.K, dirumuskan prioritas diagnosa keperawatan sebagai berikut:
Diagnosa I: Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan pembedahan yang ditandai dengan data subyektif: klien mengatakan sakit didaerah operasi pada perut kanan bawah, klien mengatakan sakit saat ditekan. Data obyektif: klien nampak meringis kesakitan, skala nyeri sedang (4), klien selalu memegang perut saat bergerak, klien selalu berhati – hati saat bergerak. Pemeriksan tanda – tanda vital tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi: 78 x / menit, suhu: 37,80c, pernapasan: 22x/menit.
Diagnosa II: Terjadinya infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan yang ditandai dengan data subyektif: klien mengatakan badannya panas, data obyektif pada pemeriksaan suhu: 37,8 0 c dan hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 8 Agustus hasil laboratorium leukosit: 12.400 /µL.
Diagnosa III: Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi, yang ditandai dengan data subyektif klien mengatakan pernah menjalani operasi pada 3 tahun lalu karena menderita penyakit yang sama, data obyektif klien nampak bertanya pada perawat tentang keadaanya.
Diagnosa IV: Kurang perawatan diri berhubungan dengan tindakan pembedahan yang ditandai dengan data subyektif: klien mengatakan sudah 4 hari belum mandi, menggosok gigi dan mencuci rambut, data obyektif klien nampak kotor, lidah dan gigi kotor, rambut nampak kusam.
b. Goal dan obyektif
Dalam perencanaan keperawatan harus sesuai dengan tujuan keperawatan yakni goal dan obyektif. Diagnosa I goal: klien akan menunjukan nyeri kurang atau hilang, obyektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 30 menit diharapkan: klien tidak meringis kesakitan, sakit berkurang, nyeri ringan (skala 2), klien tidak memegang perut saat bergerak.
Diagnosa II goal: klien akan menunjukan bebas dari tanda – tanda infeksi. Obyektif: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan tidak ada tanda–tanda infeksi.
Diagnosa III: goal : klien akan menunjukan peningkatan pengetahuan, obyektif setelah diberikan penyuluhan selama 1 x 30 menit maka klien mengerti tentang, penyebab penyakit, pengobatan, pembedahan dan perawatan.
Diagnosa IV: goal klien akan menunjukan perawatan diri maksimal. Obyektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam klien akan nampak bersih, dapat melakukan perawatan diri secara mandiri.
c. Intervensi dan Rasional
Dalam memberikan asuhan keperawatan harus memperhatikan intervensi dan rasional. Intervensi secara teoritis dan disesuaikan dengan kasus yang ditemukan oleh Tn.D.T.K.
Diagnosa I: bina hubungan saling percaya antara klien dan perawat, rasionalnya hubungan saling percaya yang baik akan membantu dalam kemudahan dalam memberikan asuhan keperawatan, kaji lokasi nyeri, catat karakteristik nyeri, skala nyeri. Rasional: berguna dalam pengawasan keefektifan obat dan kemajuan penyembuhan. Anjurkan klien untuk menarik napas dalam, rasionalnya meningkatkan relaksasi dan mengurangi nyeri, alihkan perhatian klien dengan bercerita, rasionalnya perhatian klien tidak berfokus pada nyeri. Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler, rasional menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang. Kolaborasi: berikan obat analgetik sesuai indikasi, rasional mengurangi nyeri.
Diagnosa II: kaji area luka, keadaan, luas luka serta kaji tanda – tanda infeksi. Rasional mengidentitikasi masalah dan pedoman dalam pemberian intervensi selanjutnya. Observasi tanda – tanda vital, rasional peningkatan suhu menunjukan adanya infeksi. Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan diri khususnya daerah sekitar luka, rasionalnya, menghindari kontaminasi infeksi pada daerah luka akibat kontaminasi dengan daerah sekitar luka. Ganti verban sesuai aturan dengan menggunakan teknik aseptic, rasional: Verban yang lembab merupakan media kultur untuk pertumbuhan bakteri dan dengan mengikuti tekhnik aseptic akan mengurangi resiko kontaminasi bakteri. Ganti stik laken, atau sprei secara teratur setiap kali kotor, rasionalnya mencegah kontaminasi silang, Cuci tangan yang benar sebelum dan setelah merawat pasien, menggunakan sarung tangan steril (hand Scond) bila menyetuh darah atau cairan tubuh ketika merawat klien. Rasional: tindakan perlindungan khusus membantu mengurangi resiko infeksi nosokomial, tindakan pencegahan tersebut melindungi klien dan perawat. Kolaborasi berikan antipiretik yang ditentukan jika terdapat demam. Rasional: Antipiretik memperbaiki mekanisme termostatik dalam otak untuk mengatasi demam. Kolaborasi: berikan antibiotik, rasional menurunkan mikoorganisme dan menurunkan penyebaran serta pertumbuhan kuman.
Diagnosa diagnosa III kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang penyebab hernia dan prosedur pengobatan dan pembedahan, rasionalnya sebagai data dasar untuk pemberian intervensi selanjutnya, jelaskan pada klien tentang tujuan dan manfaat dari setiap tindakan yang dilakukan kepada klien, rasionalnya meningkatkan pengetahuan untuk mencegah dan penanggulangan, jelaskan pentingnya nutrisi dan cairan dalam tubuh, rasional dengan asupan nutrisi yang baik mempercepat proses penyembuhan luka. Anjurkan untuk mempertahankan area insisi dengan personal hygiene rasionalnya mencegah infeksi, berikan penyuluhan dengan bahasa yang mudah dimengerti, rasional meningkatkan pengetahuan klien.
Diagnosa IV: Diskusikan dengan klien kebutuhan aktifitas perawatan diri yang diperlukan serta aktifitas yang menimbulkan nyeri, rasionalnya pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan aktivitas klien dalam perawatan diri, dorong perawatan diri dan sediakan waktu yang adekuat bagi pasien, rasional meningkatkan perasaan harga diri dari keputusan berikan tindakan perawatan diri, rasional memberikan rasa nyaman kepada klien.
2.1.3 Implementasi
Dilaksanakan berdasarkan diagnosa keperawatan masing – masing, diagnosa I: pada hari senin tanggal 09 Agustus jam 08.00 membina hubungan saling percaya antara perawat, klien dan keluarga, dengan cara memperkenalkan diri dan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan. Hasilnya klien dan keluarga menerima kehadiran perawat. Jam 09.00 mengkaji adanya keluhan, karakteristik nyeri dan lokasi nyeri. Hasilnya klien mengatakan sakit pada daerah operasi pada perut bagian kanan bawah saat bergerak, skala nyeri 4, Jam 09.18 mengobservasi tanda – tanda vital hasil tekanan darah 110/ 70 mmHg. Nadi: 78x / menit, pernapasan: 22x /menit, dan suhu: 37, 8 0 c. Jam 09.20 menganjurkan klien untuk menarik napas dalam. Hasil klien menerima anjuran mau mengikuti anjuran yang diberikan dan bersedia melakukannya. Jam 09.30 menganjurkan klien tidur setengah duduk. Hasil klien tidur dalam posisi semi fowler. Jam 12.00 melayani klien minum obat ibu profen 1 tablet. Pada hari selasa 10 Agustus membantu klien bangun dan menganjurkan teknik relaksasi saat nyeri, hasil: klien nampak rileks dan mengatakan sakit semakin berkurang jam 06.30 melayani klien minum obat ibu profen 1 tablet. Hasil klien mengatakan mau minum obat.
Diagnosa II: Senin, tanggal 9 Agustus 2010, jam 09.00 mengkaji adanya tanda – tanda infeksi pada luka opersai. Hasil luka tertutup kasa, tidak ada tanda kemerahan dan bengkak pada luka. Jam 09.00 mengobservasi suhu, hasil suhu: 37, 8 0 c. Jam 09.15 melayani klien minum obat paracetamol 1 tablet, hasil klien mau minum. Jam 09.25 mengkaji daerah luka, hasil panjang luka kurang lebih 7 cm, jumlah jahitan 6 kali. Jam 10.00 merawat luka dengan teknik septic menggunakan alat – alat steril. Hasil: luka dirawat, nampak bersih, kering dan ditutup kasa. Jam 12.00 melayani klien minum obat cefadroksil I tablet, hasil klien mau minum obat.
Hari Selasa, 10 Agustus 2010, Jam 07.00 mengobservasi TTV, hasilnya TD: 110/70mmHg, nadi: 80 X/menit, Suhu: 36,80c, pernapasan: 22x/menit. Jam 07.30 melayani klien minum obat cefradoxil hasil klien mau minum obat.
Diagnosa III: jam 07.00 mengkaji pengetahuan klien terhadap penyakit, pengobatan dan perawatan, hasil klien mengatakan ia tahu penyakitnya karena pernah dioperasi, tapi klien tidak mengikuti anjuran yang diberikan oleh perawat, klien selalu melakukan pekerjaan berat. Jam 11.00 memberikan penuyuluhan tentang hernia. Hasil: klien dan keluarga mengerti apa yang dijelaskan. Jam 11.45 mengajurkan pada klien untuk selalu makan makanan yang bergizi dan istirahat yang cukup dan tidak boleh melakukan pekerjaan berat walau sudah sembuh, karena ini operasi yang kedua kalinya.
Diagnosa IV: jam 09.00 menanyakan pada klien tentang aktivitas, hasil: klien mengatakan semua aktivitas belum bisa dilaksanakan dengan baik karena masih rasa sakit pada daerah operasi. Jam 09.30 menjelaskan pada klien bahwa pentingnya perawatan diri, hasil: klien nampak mengerti dan mau mengikuti anjuran perawat
Jam 10.00 merapikan tempat tidur pasien, hasil tempat tidur tampak rapi dan klien nampak tidur nyaman.
Hari Selasa, tanggal 10 Agustus 2010, jam 06.00, memandikan pasien, membantu menggosok gigi, dan menyisir rambut klien, hasil: klien nampak bersih dan rapih. Jam 06.30 menggantikan sprei yang sudah kotor, hasil: tempat tidur nampak bersih dan rapih klien nampak tidur nyaman.
2.1.4 Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan pelaksanaan atau implementasi terhadap masalah – masalah keperawatan pada kasus Tn. D.T.K maka tahap terakhir dalam proses keperawatan adalah melakukan evaluasi untuk menilai keberhasilan tindakan keperawatan. Evaluasi dalam bentuk SOAP, dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2010.
Diagnosa I dilakukan pada hari selasa jam 12.00 dengan hasilnya S: klien mengatakan rasa sakit pada daerah operasi sudah mulai berkurang O: skala nyeri (2), wajah klien nampak rileks, tanda – tanda vital: TD: 110/70mmHg, nadi 80x/menit, pernapasan: 22x/menit dan suhu 36,80c, A: Masalah sudah teratasi P: intervensi dihentikan, pasien pulang.
Diagnosa II, pada hari selasa jam 12.00, diperoleh data sebagai berikut S: klien mengatakan tidak panas lagi, O: luka nampak tertutup dan nampak bersih dan sudah kering, tidak ada tanda – tanda infeksi, observasi suhu: 36, 8 0 c, A: masalah sebagian teratasi, untuk selanjunya klien control di poliklinik untuk aff benang. P: intervensi dihentikan klien pulang.
Diagnosa III dilakukan pada hari selasa tanggal 10 Agustus 2010 jam 12.00 S: klien mengatakan ia nampak mengerti dengan penjelasan, klien mengatakan mengikuti semua anjuran, O: klien nampak paham A: masalah teratasi, P: intervensi dihentikan dan klien pulang.
Diagnosa IV, dilakukan pada pada hari selasa tanggal 10 Agustus 2010 jam 12.00 diperoleh data sebagai berikut S: Klien mengatakan dia sudah bisa bangun sendiri dan melakukan aktivitas ringan, O: klien nampak bersih dan rapi, rambut nampak rapi, A: masalah teratasi, P: intervensi dihentikan, klien pulang klien pulang.
2.2 Pembahasan
Pembahasan adalah unsur yang paling penting dalam penyusunan laporan, dimana penulis akan menguraikan kesenjangan antara konsep teori dengan kasus nyata. Pendekatan yang dilakukan adalah sesuai dengan pendekatan proses keperawatan yaitu dimulai dari pengkajian, perumusan diagnosa, menyusun rencana tindakan, melakukan implementasi keperawatan dan evaluasi. Berdasarkan pelaksanaan kegiatan diatas, maka penulis akan menguraikan temuan yang dihadapi selama menjalani asuhan keperawatan pada pasien post herniatomi, Tn. D.T.K yang dirawat di Ruang Bedah, kelas II RSUD dr.T.C Hillers Maumere.
2.2.1. Pengkajian
Pada pengkajian menurut Doenges ( 1999) dan Arief Mansjoer pada pasien post herniatomi ditemukan tanda dan gejala, perubahan volume cairan, nyeri, infeksi akibat luka pembedahan,kerusakan integritas kulit, kurangnya pengetahuan. Pada pasien Tn.D.T.K hanya ditemukan gejala nyeri, adanya infeksi, kurang pengetahuan dan kurang perawatan diri. Hal ini menunjukan adanya kesenjangan antara teori dan kasus nyata.
2.2.2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang diangkat pada kasus ini tidak semuanya pada teori Doenges. Menurut Doengoes (1999) masalah keperawatan yang muncul pada pasien post herniatomi adalah infeksi, kurang volume cairan, nyeri, kurang pengetahuan dan gangguan integritas kulit. Pada kasus nyata Tn. D.T.K adalah, diagnosa keperawatan yang muncul adalah gangguan rasa nyaman nyeri, resiko tinggi infeksi, kurangnya pengetahuan dan kurangnya perawatan diri. Hal ini menunjukan bahwa terdapat beberapa perbedaan antara teori dan kasus nyata. Masalah keperawatan yang tidak ditemukan dalam kasus nyata seperti resiko tinggi defisit volume cairan , gangguan integritas kulit, karena pada saat dikaji klien sudah mendapat pengobatan ± 4 hari. Dan adapun masalah yang tidak ditemukan dalam teori doenges yaitu masalah kurang perawatan diri.
Dalam penentuan diagnosa yang dijadikan prioritas masalah adalah masalah yang mengancam nyawa, mengancam kesehatan dan mengancam tumbuh kembang. Pada kasus Tn. D.T.K proritas masalah yang diangkat adalah gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan pembedahan karena nyeri selalu dikeluhkan pasien, dan mempengaruhi aktivitas dalam perawatan diri.
2.2.3 Perencanaan Keperawatan
Perencanaan, tujuan dan kriteria, evaluasi pada dasarnya tidak ditemukan adanya kesenjangan karena pada umumnya pada kasus nyata selalu dirujuk kembali ke dalam tinjauan teoritis yang disesuaikan dengan keadaan klien.
2.2.4 Implementasi keperawatan
Pada tahap implementasi sesuai rencana yang dibuat sesuai teori. Pada diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri, resiko tinggi infeksi, kurangnya pengetahuan dan kurangnya perawatan diri. Semua intervensi diimplementasikan karena dengan tindakan keperawatan dapat mengatasi gangguan rasa nyaman nyeri, resiko tinggi infeksi, kurangnya pengetahuan dan kurangnya perawatan diri.
2.2.5 Evaluasi
Pada kasus nyata Tn. D.T.K tidak ada kesenjangan antara teori dan kasus nyata pada diagnosa yang diangkat. Setelah dilakukan tahap implementasi maka tahap akhir dalam proses keperawatan adalah melakukan evaluasi untuk menilai keberhasilan tindakan keperawatan. Menurut Doenges (1999), diagnosa keperawatan pada diagnosa nyeri berhubungan dengan tindakan pembedahan hasil yang diharapkan adalah klien akan menunjukan nyeri kurang atau hilang. Pada kasus nyata diagnosa keperawatan ini masalahnya teratasi karena klien menunjukan nyeri berkurang, skala nyeri 2. Jadi pada diagnosa ini tidak ditemukan adanya kesenjangan antara teori dan kasus nyata dalam mengatasi masalah klien.
Pada diagnosa actual terjadinya infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan. Pada diagnosa ini kriteria yang diharapkan adalah tidak terjadi infeksi. Dengan tidak meningkatnya suhu tubuh, tidak ada bengkak dan kemerahan pada darah luka operasi dan tidak meningkatnya sel darah putih. Pada kasus nyata diagnosa keperawatan ini masalahnya teratasi karena luka nampak kering tertutup, tidak merah dan bengkak, dan tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.
Pada diagnosa keperawatan kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, saat diberikan penyuluhan klien nampak mengerti dan mau mengikuti anjuran, pada kasus nyata diagnosa ini masalahnya teratasi.
Pada diagnosa kurang perawatan diri berhubungan dengan tindakan pembedahan hasil yang diharapkan adalah klien nampak bersih, klien dapat melakukan aktifitas secara mandiri. Pada kasus nyata diagnosa ini teratasi karena klien bisa melakukan aktivitas ringan dalam perawatan diri secara mandiri.









BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hernia adalah penonjolan isi suatu rongga melalui bagian yang lemah, dari dinding rongga bersangkutan. Penyebab dari hernia adalah karena tekanan pada daerah intra abdomen yang terlalu kuat sehingga terbukanya sekat inguinal, bisa saja terjadi karena faktor kongenital, dan faktor usia lanjut. Tanda dan gejala sebagai berikut adanya benjolan, benjolan hilang timbul, nyeri, lemah, dan pusing. Penatalaksanaan akan penyakit ini salah satunya adalah tindakan operasi, oleh karena itu perlu adanya asuhan keperawatan post herniatomi.
Dalam asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan atau implementasi dan evaluasi. Pada penanganan post herniatomi perlu kerjasama antara klien, perawat dan keluarga sehingga mempercepat proses penyembuhan. Untuk itu, perawat perlu memberikan penyuluhan pada klien dan keluarga tentang hernia yang dilakukan setelah operasi dan upaya yang dilakukan setelah pulang ke rumah.
Pada Tn. D.T.K pengetahuan tentang pengobatan dan perawatan sangat minim, hal ini dibuktikan dengan klien pernah masuk rumah sakit dan pernah dioperasi pada 3 tahun yang lalu tetapi karena tidak mengikuti anjuran yang diberikan oleh dokter dan perawat, sehingga penyakitnya kambuh kembali dan masuk rumah sakit.
Pengkajian pada kasus Tn.D.T.K dilakukan dengan data fokus dan data penunjang lainnya. Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan post operasi hernia ada dalam teori (M.E.Doengoes.1999) namun diagnosa pada Tn. D.T.K diagnosa keperawatannya mengacu pada masalah aktual dan diagnosa lainnya yang dimalifikasikan sebagai respon klien terhadap penyakit hernia.
Perencanaan pada umumnya dilakukan sesuai dengan intervensi. Penatalaksanaan pada diagnosa keperawatan yang sudah ditegaskan perlu ditingkatkan melalui pendidikan kesehatan yang berkelanjutan dengan melibatkan keluarga. Evaluasi terhadap semua asuhan umumnya berjalan sesuai perencanaan. Masalah sudah teratasi pasien pulang.
3.2 Saran
3.2.1 Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat
Diharapkan untuk selalu meningkatkan pemberian asuhan keperawatan dengan menggunakan ilmu dan kiat keperawatan kepada penderita hernia yang telah dioperasi, memberikan penyuluhan, pendidikan untuk perawatan, pencegahan, pengobatan untuk mencegah agar tidak dioperasi kembali.
3.2.2 Bagi rumah sakit
Diharapkan rumah sakit dapat menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, peralatan pembedahan dan perawatan luka, lingkungan yang sehat, penyuluhan gizi, sehingga klien dapat memahami dan mengikuti semua anjuran yang diberikan, dengan tidak menderita penyakit yang sama.
3.2.3 Bagi klien dan keluarga
Diharapkan klien untuk selalu mematuhi setiap pengobatan, mengikuti semua anjuran yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan selalu meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan dengan banyak membaca, meningkuti penyuluhan yang membahas tentang hernia dan masalah kesehatan lain. Anggota keluarga diharapakan untuk selalu memberikan dorongan dan motivasi dalam mendukung kesembuhan klien.














DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer Arif, dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2.Jakarta: Media Aesculapius
Doenges, E.Marillyn. 1999. Rencana asuhan keperawtan. Edisi 2. Jakarta: EGC
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta: EGC
http://nugealjamela.blogspot.com/, akses tanggal 12 Agustus 2010
http//www.medicastore.com,akses tanggal 12 Agustus 2010

Moan Teka

Teka Iku (1849 – 1904) pahlawan daerah Nusa Tenggara Timur dua kali mengalami bottleneck mindset dari Pemerintah c.q. Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. terhadap usaha dan upaya masyarakat NTT khususnya masyarakat Kabupatan Sikka untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional R.I. sebagaimana halnya pahlawan nasional Indonesia lainnya Imam Bonjol, Patimura, Bung Tomo, I. Gde Agung, Slamet Riyadi, John Lie dan lain-lain.
Alasan Pemerintah melalui Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. di dalam dua suratnya : nomor 322/PS/XI/2006 & nomor 1019/PS/XXI/2009 tanggal 31 Desember 2009 sepertinya hanya melihat dan membaca peristiwa NUHU GETE – PERANG BESAR TEKA IKU 18 Mei 1904 satu abad silam sebagai bersifat lokal dan berskala kecil serta waktu singkat pada alinea pertama dan terakhir buku L. Say : Pemberontakan Teka, yang termuat lengkap dalam buku Memori Perjuangan & Pengabdian Mo’an Teka Iku edisi perdana, November 2006, terbitan Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta dan atau buku Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur 2005. Padahal perang itu sangat menggemparkan Posthouder (pejabat Belanda setempat) di Onderafdeeling Maumere, Keresidenan Timor, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan Ratu di Negeri Belanda (Dokumen R. Nomor 343, Thn. 1904, Arsip Nasional R.I. Jakarta).
Perlu diketahui masyarakat Kabupaten Sikka (Rakyat dan Pemerintah Daerah) telah melimpahkan usaha dan upaya ini kepada Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta untuk memperjuangkannya sesuai mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. (lihat hasil survey tentang Pahlawan Nasional. Kompas, Selasa, 10 Nopember 2009).
Maka untuk dan atas nama masyarakat Kabupaten Sikka dan masyarakat NTT pada umumnya sedari awal menyadari bahwa usulan mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional bagi almarhum Mo’an Teka Iku Pemimpin Perang Suku dan Pemimpin Perang Antar Kerajaan serta Pemimpin Perang Besar melawan penjajah kompeni Belanda bukanlah ”indah kabar dari rupa” melainkan fakta history yang aktual dan nyata serta penuh mitologis dan legendaris. Bukan juga latah dan ikutan-ikutan serta memaksakan kehendak pribadi melainkan seperti halnya Mo’an Teka Iku yang memiliki visi dan misi yang penuh integritas diri sehingga impamrih bangkit dan berperang melawan penjajah Belanda yang dibantu tiga Raja Tradisional: Ratu Nian Tawa Tana Sikka, Nita dan Kangae. Pun juga adalah karena pelanggaran harkat martabat masyarakat tradisi Ratu Nian Tawa Tana, oleh penjajah kompeni Belanda seperti penindasan dan penghisapan terhadap rakyat kecil (wong ciliknya Bu Mega) dengan antara lain pemungutan pajak kelapa yang sangat memberatkan rakyat kecil. Dan 18 Mei 1904 merupakan puncak gunung es sebagai akibat akumulasi proses penindasan dan penghisapan rakyat sejak Kompeni Belanda menerapkan politik Devide et impera seterima kekuasaan dari penjajah Portugis yang murah hati dan santun.
Teka Iku memang provokatif seperti tulis Dirjen dalam surat kedua penolakan usulan menjadi Pahlawan Nasional. Salahkah model provokasi ini bagi mereka yang dijajah dan ditindas bertahun-tahun untuk berontak melawan penjajah Belanda yang telah memperdaya tiga raja tradisi Ratu Nian Tawa Tana Sikka, Nita dan Kangae? Teka Iku hulubalang perang kerajaan Kangae, Nita dan Sikka adalah juga sebagai kapitan (wakil raja Sikka) tampil berani melawan karena menilai para raja telah terpedaya oleh praktek politik Devide et Impera Belanda yang sangat kejam terhadap rakyat ketimbang penjajah Portugis yang santun sebelumnya.
Untuk itu sejalan dengan salah satu Tagline Presiden R.I. dalam program KIB II ada baiknya perlu Debottlenecking Mindset untuk mempertimbangkan kembali dan menilai dengan jujur tulus adil nilai perjuangan Teka Iku secara scientifics, arts, dan morals. Perjuangan Teka Iku merupakan embrio kebangkitan perlawanan nasional empat tahun lebih awal dari kebangkitan nasional 20 Mei 1908. Itulah semangat perjuangan Mo’an Teka Iku Rebu Ba’it, Damar Jawa Da’an Dadin, Patar Hading ’Liwan Pitu Ele Bere, Pare Bura Wiwaga, Nara A’un Ele Potat. Perjuangan ini meneruskan amanah sang Ayah Kepala Waktu Pitu (Ketua Dewan) dengan tagline ”Kotin – Mitan Bao Blutuk, Bao Blutuk Bliro Wolon, Ele Ngarong Klereng Ha, Wewe Tena Wolet Lebe”.

Gambaran UmumGambaran umum singkat, struktur pemerintahan kolonialis Belanda di onderafdeling Maumere/Flores yang meliputi tiga kerajaan setempat masing-masing; Kangae, Nita dan Sika setelah diserahkan oleh pemerintah Portugis pada tahun 1859, berdasarkan perjanjian di Dili Timor (sekarang Timor Leste), Desember 1851. Namun, fakta bendera Belanda baru berkibar di ibu kota Maumere, Agustus 1879 dan di Sikka bekas kerajaan jajahan Portugis. Kerajaan Kangae dan Kerajaan Nita, tetap merdeka dan otonomi selama Portugis karena selama masa Portugis, mereka lebih banyak mengurusi masalah ekonomi perdagangan dan penyebaran agama Katolik.Bekas kerajaan Sikka Maumere, telah tunduk terhadap Portugis sejak tahun 1607 di mana para raja Sikka tunduk dan takluk terhadap penguasa Portugis. Raja Kangae dan raja Nita yang bergelar “Ratu Nian Tawa Tana” yang disapa Mo’an Ratu, adalah raja pilihan oleh para kepala adat tanah/tuan tanah (tanapu’an) dan para kepala suku sebagai wakil rakyat (watu pitu) sebagai bentuk demokrasi tua di wilayah ini, utama daerah pedesaan. Raja adat menganut tradisi demokrasi tua berdasarkan filosofi adat pada gambar 2, yang artinya ada dalam catatan kaki.Filosofi adat MaumereSetelah terjadi pemindahan kekuasaan Portugis ke dalam tangan kolonialis Belanda, pelan-pelan Maumere merupakan suatu wilayah jajahan oleh penguasaan militer Belanda (1879), belum ada pemerintahan sipil, dengan tujuan mempertahankan daerah jajahan dan jalur perdagangan. Titik-titik kekuasaan kolonialis Belanda adalah Kupang di pulau Timor, Larantuka dan Maumere di pulau Flores.Struktur kekuasaan pemerintahan kolonialis Belanda sebagai berikut: residen Kupang merupakan pusat kekuasaan desentralisasi di keresidenan Timor. Pusat kekuasaan dimaksud, kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif berada di satu tangan militer yaitu residen Kupang dan dibantu oleh kontrolir Timor, yang juga berkedudukan di Kupang Desentralisasi dimaksud seluruh keputusan yang diambil residen sebagai kepala pemerintahan, langsung bertanggung jawab kepada Ratu Belanda (Wihelmina) melalui Governoor Generaal (GG) Batavia.Keresidenan Timor meliputi pulau Bali disebelah barat sampai dengan Nederlands Timor di sebelah Timur, atau yang dahulu dikenal sebagai : Kleine Sunda Eilanden (Kepulauan Sunda Kecil), sekarang provinsi Bali, NTB dan NTT. Gezaghebber (pemegang kuasa) sebagai pembantu residen dan bertugas mengkoordinasi satu wilayah pulau/kepulauan; dan untuk Flores dan kepulauannya dikenal gezaghebber Larantuka, berkedudukan di Larantuka. Pasukan perintis Belanda (marchause) berkedudukan di Larantuka dan sering berjalan kaki ke Maumere terus ke barat Ende dan Ngada. Sering pasukan itu bentrok dengan laskar-laskar rakyat setempat.Posthouder (pemegang/pengawas pos), adalah perwakilan pemerintah kolonialis Belanda di suatu wilayah. Wilayah Maumere meliputi tiga kerajaan: Kangae, Nita, dan Sikka merupakan pos Kompeni dan ditempatkan seorang posthouder yang dibantu oleh seorang komandanti di Maumere (kota). Wilayah Maumere pada masa perjuangan Moan Teka Iku yang mencapai klimaks perjuangan yang dikenal dengan “Nuhu Gete Teka Iku”, atau perang besar Teka Iku, pada tahun 1904, residen Kupang dijabat oleh: F.A. Heckler, kontrolir Timor dijabat RLA Hellwig, gezaghebber Larantuka J. Misero dan posthouder Maumere B.L Kailola. Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Roosseboom.Visi PerjuanganVisi dan misi perjuangan tidaklah jatuh dari langit, tetapi ditanam oleh kedua orang tuanya (Mitan-Kotin) sejak masa kanak-kanak. Keluarga yang tak pernah kenal bangku pendidikan ini, namun karena alam dan ilham mempunyai filosofi hidup yang menyentuh batas kedalaman tanah dan cita-cita sampai menyentuh bulan yang lebih banyak aksi ketimbang reaksi melakukan upacara adat pada tahun 1851 yang disebut lebo kuat.6Pemberian nama (adopsi) yang memberi arti perjuangan masa depan juga menimbulkan perbantahan sampai pada seminar tahun 2004 Teka Iku atau Teka karena terdapat dua pribadi? Itulah keunikan sekaligus keunggulan dari meterai lebo kuat. Teori berkata bahwa budaya melahirkan pemimpin dan sebaliknya pemimpin melahirkan budaya. Teori menulis berdasar fakta yang telah dipraktekkan. Moan Mitan Baber, ayah kandung Iku (ama buan) pemimpin rakyat melahirkan budaya lebo kuat, melalui budaya lebo kuat melahirkan pemimpin perjuangan Teka Iku. Hal ini, menjadi jelas dan terang benderang bahwa warisan budaya, sejarah Teka Iku berbeda dengan warisan biologis atau hubungan darah yang mengenal dua pribadi.Kebenaran sejarah ini, sesuai dengan kesaksian ahli waris, Eliseus Moa Iku pada seminar sehari kepahlawanan Moan Teka Iku di Setda Maumere, 16 Juni 2004, dalam menjawab soal nama pemimpin perjuangan, ia mengatakan bahwa, pemimpin entah pemimpin perang tentulah seorang, bukan dua orang yaitu seorang diberi atau diserahkan untuk menyandang nama besar Teka Iku. Jawaban yang pas dengan makna lebo kuat, yang dibuat oleh koka nya sendiri (ayah kakek) Moan Mitan Pautanapuan.Visi yang diwariskan oleh kedua orang tuanya (Kotin-Mitan) kepada putra masa depan yang kelak bertambah besar dan bertambah hikma yang akan membebaskan negerinya Maumere secara keseluruhan dari penjajah, dan tidak membiarkan sebagian atau seorang pun dijajah oleh orang asing (Belanda). Gagasan asli, pada gambar 3 di bawah ini.Penanaman Visi PerjuanganBahwa perjuangan akan kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan sudah ditanam tidak hanya oleh kedua orang tuanya tapi oleh para leluhur, para pemimpin negeri Maumere ini seperti terdapat dalam gagasan utama Teka Iku menurut penulis ada pada Gambar 4, ini.Moan Teka IkuPada catatan satu liwut (liwut ha) = 4 buah, menunjukkan negeri ini telah hadir jauh sebelum tahun Masehi. Kita tahu bahwa matematika sudah ada 2000 tahun sebelum Masehi. Konsep matematika yang melandasi tradisi hidup mereka ialah pasangan seperti dua buah kelapa kering yang diikat menjadi satu oleh tali dari kulit buah kelapa disebut 1 tali (tali ha), dua botol tuak (bir) disebut plasu ha. Satu (1) tali tambah 1 tali adalah liwut ha.Bagi buah kelapa kering yang sudah ‘diliwut’ sampai 10 liwut, harus ditinggikan karena mencapai 1 subur (subur ha), artinya diletakan pada sebatang kayu yang dirikan di atas tanah, sehingga dari jauh sudah ketahuan berapa subur. Tetapi atas buah jagung yang kering juga tetap sama yaitu 1 liwut konsep empatan, kemudian 25 liwut sama dengan 1 bese (bese ha), kemudian 10 bese, 20 bese dan seterusnya. Apakah perbedaan konsep bilangan ini karena buah kelapa lebih besar daripada buah jagung? Bukan karena hanya buah kelapa yang dapat ‘disubur,’ buah mangga tidak dapat ‘disubur.’Bahwa pajak baru berupa kelapa 4 buah setiap pohon pada musim petik menjadi pemicu perang, ketika instruksi kolonialis Belanda kepada raja Sikka, untuk melaksanakan pemungutan dapatlah dipahami karena merupakan dasar bilangan untuk membangun satu subur kelapa menjadi kurang dan hal ini sangat dirasakan oleh kebanyakan penduduk yang hidupnya dari bertani yang telah dibebani oleh berbagai macam pajak termasuk pajak pohon kelapa, pajak kepala (belasting), pajak tembakau, kemiri, kopra, dan kerja paksa (rodi).Kemerdekaan yang dihembuskan membuat perilaku Teka Iku yang gemar bermain dari kampung ke kampung tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dalam berbicara, banyak inisiatif, berani dan bijaksana. Berkelahi dalam membantu teman-teman yang mengalami perlakuan tidak adil, taat terhadap orang tua. Kedua orang tuanya sangat bangga atas putra masa depan yang memberi harapan atas rakyatnya. Lebih-lebih ketika Teka Iku atas inisiatif sendiri, lebih banyak di luar rumah dalam latihan menunggang kuda, menggunakan senjata tajam, sampai latihan menembak dengan senjata berat (meriam).Ketika itu, bangsa Portugis mulai mengalami masalah dalam negeri mereka karena Portugis di bumi hanguskan tentara Prancis lebih-lebih pada serangan ke tiga, dan mengalami perlawan dari daerah-daerah jajahan di Amerika Latin sehingga berusaha menarik diri dari Flores ke Timor Leste, meninggalkan Flores, khusus Maumere tetap berada dalam pemerintahan lokal, ratu nian tawa tana, yang otonomi kecuali Sikka yang dijaga oleh tentara Portugis.Tahun 1875, Teka Iku dilantik tanapuan, oleh tanapuan Mitan, wilayah Hubin-Wolomude yang sekarang menjadi desa gaya baru Teka Iku, kecamatan Kangae. Sejak itu ia mulai dikenal oleh para tanapu’an dan watu pitu dari desa ke desa lintas wilayah kerajaan yang ada di Maumere-Flores. Dengan masuknya Belanda akhir 1879 yang didukung oleh raja Sikka, Teka Iku sebagai kepala adat tanah mulai berkomunikasi dan sosialisai dengan para raja, para kepala adat dan kepala-kepala suku serta kepala-kepala kampung dalam memahirkan kemapuan perangnya tidak hanya antar kampung, tapi memasuki tingkat wilayah kerajaan demi misi perjuangannya.Mo’an Teka Iku mempertanyakan mengapa Belanda yang sudah punya negeri di barat sana, koh jauh-jauh datang kemari ke tempat kita yang sudah punya negeri sejak zaman asal mula, apakah ingin menjajah dan mengeruk kekayaan dari rakyat miskin kita.9 Mengapa dalam gagasan atau visi perjuangan Moan Teka Iku berkata, kita orang bukan kami orang secara jelas tersirat tradisi demokrasi dan kita orang yang dimasud itu, apakah tingkat Maumere, atau tingkat Flores atau tingkat nusantara Indonesia?


Gagasan persatuan kesatuanManusia dikarunia oleh suatu kecerdasan dalam memberi nama mahkluk ciptaan Tuhan. Seperti bawang putih =hunga, bawang merah = somu, sedang kapal = jong, kapal laut = jong tahi, kapal terbang = jong horon, kapal selam = jong sugung. Jong Jawa terjemahan bebas kapal nusantara, sebab masyarakat mengenal Jawa let dan Jawa wawat, artinya Jawa di sebelah timur Maumere yaitu Larantuka dan pulau-pulau sebelah timur, sedangkan di sebelah baratnya adalah pulau Jawa, Sumatera dan lainnya.Data PerjuanganTingkat perjuangan terus meningkat dari antar kampung ke wilayah antar kerajaan sebagai tolak ukur untuk melawan Belanda yang besar dengan kekuatan yang besar yaitu:1. Tahun 1880, nama Teka Iku yang sudah dikenal dan menjadi catatan Belanda menjadi semakin tersohor karena perang wilayah kerajaan Sikka di Maumere melawan kerajaan Larantuka karena masalah pulau Besar dan pulau Permaan serta pelabuhan Nawang Kewa (1880). Perang dipimpin Mo’an Teka Iku dan Mo’an Juje Goleng dan berhasil mencabut bendera Belanda yang dipasang oleh raja Larantuka. Perang berakhir dengan kemenangan pihak Sikka, tapi kemudian tokoh Kangae, J.Goleng beralih ke pihak Larantuka. Sejak itu tokoh adat tanah Teka Iku diangkat menjadi Kepala Hubing -Wolomude oleh raja Sikka.2. Tahun 1885 atas tekanan kolonialis Belanda berhasil mencaplok kerajaan Nita, kemudian melantik Moan Digung da Silva menjadi raja atas kerajaan Nita bersama raja Sikka Andreas Jati da Silva pada 11 September 1885 oleh residen Kupang. Pelantikan di maumere yang dihadiri oleh para tokoh dan raja-raja yang diangkat oleh Belanda dengan menandatangani korte verklaring. Moan Teka Iku yang hadir dalam pelantikan itu melihat hubungan raja Sikka dan raja Larantuka belum pulih gara-gara perang 1880.3. Tahun 1900, perang pecah di Kangae antara Sikka lawan Kangae. Mulanya dimenangkan oleh Kangae dengan raja adatnya Mo’an ratu Keu dibantu J.Goleng dan raja Larantuka dengan pemimpin perang Jawa Uwok. Raja Sikka mengerahkan bala bantuan dari Nita dan Mbuli Nggela dengan pasukan 3000 orang yang dipimpin oleh Moan Teka Iku dan menang perang atas Kangae.4. Tahun 1902, Moan Teka Iku diangkat menjadi Kapitan (wakil raja) atas Hubin-Wolomude yang berkedudukan di Hubin oleh raja Sikka, pada saat Kangae dalam keadaan lemah, sehingga Belanda dengan mudah mengganti raja pilihan (Keu Nago) dengan Nai putra J.Goleng dan dilantik dengan dibacakan korte verklaring oleh residen Kupang untuk menjadi raja atas Kangae 9-12-1902.5. Tahun 1903, para raja baru sadar bahwa mereka diadu domba oleh kolonialis Belanda, tapi tidak berdaya melawan Belanda, kecuali Teka Iku yang mempunyai visi yang jelas memandang bahwa inilah saat yang tepat untuk melakukan perlawanan dengan persiapan membangun benteng pertahanan. Bergerak cepat dalam membangun jaringan dengan jalan damai terhadap rakyat dan tua-tua adat dan kepala-kepala dari masing-masing kerajaan dalam menghimpun kekuatan laskar rakyat yang besar dengan motto perjuangan yang menggetarkan dan daya pengaruh yang besar.6. Bukan kebetulan, Belanda yang merasa superior menindas rakyat dengan pajak baru empat buah kelapa setiap pohon setiap musim petik kelapa, membuat kemarahan rakyat sekaligus mendukung Teka Iku dalam melakukan perlawanan rakyat sesuai visi misi Teka Iku yang sudah lama diperjuangkan.7. Pajak baru, 4 buah kelapa sebagai pemicu perang besar yang dipimpin Teka Iku melawan Belanda dibantu oleh tiga raja Maumere, 18 Mei 1904. Hanya dalam hitungan hari Maumere seluruhnya dikuasai Teka Iku, yang disapa jenderal oleh Belanda pada 20 Mei 1904. Bala bantuan pemerintah Hindia Belanda segera mengirim kapal “G.G. Pel” merapat di laut Flores, tepatnya perairan Maumere 22 Mei 1904. Teka Iku tampil berani, dengan jawaban perang, ‘aku Teka Iku ayah Idang, burung gagak kumakan, burung kakatua kumakan.8. Laporan residen Timor di Kupang kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia dalam dokumen rahasia tahun 1904, tentang keberanian Teka Iku.9. Belanda dengan pasukan darat dan laut yang besar mekakukan serangan balik 3 Juni 1904 dan 5 Juni 1904 (lihat peta wilayah perang) Pasukan Belanda dipimpin langsung oleh residen Kupang, Heckler. Namun gagal, tanpa mencederai para pejuang rakyat pimpinan Teka Iku, dan bahkan mengakui Teka Iku sebagai ‘lilin malam.’10. Teka Iku terperangkap 7 Juni 1904 pagi, karena diajak oleh besan sekaligus ajudan Pitang untuk berunding dengan Belanda, daripada kita perang karena tempat persembunyian Teka Iku sudah diketahui Belanda melalui sorotan lampu kapal perang di malam hari yang mencari persembunyian Teka Iku. Adapun Pitang dijebak lebih dahulu 2 Juni 1904 dalam suatu pesta keluarga di Maumere, dan besoknya 3 Juni Belanda melakukan serangan pertama ke benteng Teka Iku di Baluele desa Pitang Sadok Kemudian Pitang dibebaskan 5 Juni 1904 pagi, sebelum serangan kedua ke desa Teka Iku dengan maksud Pitang membujuk Teka Iku untuk berunding, ternyata mereka dipasung.11. Pada 8 Juni 1904 laskar rakyat Teka Iku yang bertahan di Wukur-Hokor memenangkan perlawanan atas pasukan Belanda yang dibantu pasukan raja Sikka dari darat dan laut yang melakukan seangan ketiga. Kemenangan itu dirayakan dengan tarian Bebing, kemudian dibangun patung di Maumere dekat jalan Teka Iku. Ekskursi (serangan) ke Hokor oleh Belanda.12. Para pejuang Teka Iku, dan kawan-kawan dibuang ke luar residen Timor, meninggalkan Maumere bersama residen dalam kapal Pelikaan yang dikawal kapal perang ‘Mataram’ pada 30 Juni 1904. Mereka dikenai 3 hukuman yaitu hukum buang, hukum penjara dan hukum bayar ongkos perang serta melarang Hubin-Wolomude (sekarang desa Teka Iku) untuk dibangun rumah atau mengerjakan kebunnya. Walaupun mereka dibuang tetapi Moan Teka Iku tetap yakin akan kebenaran visi, misi mereka sesuai pesan terakhir, yaitu sampai beras putih dikupas pun nama sejarah perjuangan Teka Iku tidak akan hilang, ia tetap menyertai.13. Perjuangan Moan Teka Iku sangat berhasil, karena setelah dibuang kempanye pembangunan, perdamaian, keadilan, penghapusan atas budak, pajak dihapuskan atau diturunkan semua itu adalah hasil perjuangan Teka Iku, dan kawan-kawan yang dinikmati oleh rakyat dan penjajah, bukan oleh Teka Iku, dan kawan-kawan pejuang serta keluarganya di Maumere14. Perang perlawanan rakyat Flores terjadi pada masa akhir kekuasaan GG Rooseboom (1904) mempunyai pengaruh yang sangat luas terutama dalam arti konsep perjuangan sehingga pada saat pergantian kekuasaan dari G.G Rooseboom ke G.G van Heutz; (1904-1909) membuat van Heutz memberikan perhatian istimewa kepada daerah-daerah luar Jawa, yang dahulu dinamakan “buitenbezittingen” atau juga “buitengewesten” artinya “milik luar dan daerah luar. Colijn (1909) dikirim oleh G.G van Heutz mengunjungi Flores dalam rangka politik van Heutz. Pada kesempatan itu Colijn meninjau daerah jajahan dan seluruh stasi misi. Pokok permasalahan penting yang dibicarakan ialah masalah pendidikan dan pengajaran.15. Kunjungan Colijn ke Flores tidak serta merta dilaksanakan tetapi dijalankan secara pelan-pelan karena persoalan teknis dan ideologi. Sikap kolonialis bertambah baik lagi pada masa gubernur jenderal A.F.W Idenburg (1909-1916). Yang sejak Mei 1908 menjabat Menteri Koloni pada masa Heutz. Oleh karena itu 20 Frebuari 1911, di Lela-Maumere-Flores diadakan pertemuan antara wakil misi (P. Hoeberechts, van der Velden dan Looymans) dengan wakil pemerintah dari residensi Timor, kontrolir Hens dari Ende-Flores, dan penasihat urusan luar Jawa, Lulofs. Secara resmi tugas pendidikan seluruh Flores diserahkan kepada misi. Program pendidikan harus sama dengan program sekolah umum, artinya semua sama dengan keadaan di Jawa. Pelajaran tidak lagi dalam bahasa Maumere (tutur sara itan), tapi bahasa Melayu. Syarat lain ialah dalam jangka waktu tiga tahun sekolah seperti itu harus dibuka di Ende dan Flores Barat. Di kampung-kampung diadakan sekolah 3 tahun sebagai yang terdapat di desa-desa Jawa. Rencana ini menyenangkan hati G.G Idenburg maupun menteri urusan koloni, yaitu de Waal Malefijt. Dengan keputusan pemerintah 31 Maret 1913 ditentukan suatu kontrak, bahwa pengajaran Flores diserahkan kepada misi sampai dengan tahun 1922, dengan pengawasan dan kerja sama serta subsidi pemerintah. Beberapa sekolah mulai dijadikan sekolah standar selama 5 tahun dalam tahun 1913 seperti Larantuka dan Maumere (Lela & Wetakara).16. Pada tahun 1925 setelah para pejuang selesai menjalani hukum buang harusnya kembali ke Maumere, tetapi kekuatan kolonialis semakin kokoh. Di mana pemerintah kolonialis membubarkan dua kerajaan yaitu Nita dan Kangae, dan membebaskan kedua rajanya dengan pensiun maka seluruh Maumere dalam kerajaan Sikka yang dikendalikan oleh Don Thomas da Silva17. Hasil perjuangan Teka Iku dimanfaatkan oleh Belanda melalui Thomas da Silva, sampai kemerdakaan di mana Thomas da Silva terpilih menjadi Kepala daerah Flores pertama dan mendirikan yayasan pendidikan Thomas, di mana dananya dari uang restribusi kopra milik rakyat Maumere.18. Moan Teka Iku, dan Iku Mitan, Pitang Sadok, Hure Teka dan Lela adalah pejuang rakyat sejati, berasal dari rakyat biasa dan berjuang bersama rakyat dan untuk rakyat Flores sesuai dengan gagasan-gagasan yang ia sampaikan. Mereka dibuang dari Maumere ke Larantuka, Kupang. Moan Teka Iku dibuang lagi dari Kupang ke Makassar, Jawa Tengah, Aceh, terus ke Sumatera Barat, tepatnya di Sawah Lunto.Riwayat HidupBayi Teka Iku ditemukan oleh Mo’an Mitan Baber dan teman-temanya pergi berburuh babi hutan tahun 1849 di Mudung Hoder Maumere Timur, tepatnya di Watuwikir di atas batu besar. Perjalanan hidup bayi itulah memberi nama tempat-tempat yang dilalui karena kehausan dan kepanasan yang diberi air susu oleh ibu-ibu Muslimin di mana Moan Mitan Baber dan kawan-kawan singgahi. Atas kebaikan itu, mereka pertama singgah dan menamai Wai Ara, Kletang Bihan (ban bihan), dan Wai Pare, Bola Wolon, Koa dan sampai di Hubin (desa Teka Iku). Kisah ini secara rinci belum ditulis dalam buku Memori, kecuali secara umum tidak meyinggung secara rinci masing-masing tempat yang disebut di atas, yang semuanya berlokasi di Maumere Timur.Dipelihara dan diangkat oleh Mo’an Mitan Baber Pautanapuan, pada tahun 1851 dalam upacara lebo kuat, pemberian nama Teka Iku dan masuk dalam suku Pautanapuan serta mendapat pendidikan dan warisan marga/lepo Pautanapu’an. Perlakuan dan kasih sayang antara anak angkat (Teka Iku) dan anak kandung (Iku Mitan) oleh keluarga Mitan-Kotin adalah sama seperti anak kembar saja sejak masa kecil dan dibisiki roh perjuangan rakyat oleh kedua orang tuanya.Teka Iku yang cerdas, berani, pandai berbicara, inisiatif dan penuh daya pikat memahirkan latihan di luar rumah untuk aktif dalam kegiatan perang demi kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan yang beradab menjadi dewasa dan menikah adat dengan du’a Odat dari Hubin punya empat anak, kemudian du’a Gleung dari Wolomude mempunyai 11 anak, dan du’a Nean asal Ian-Wolokoli yang memberinya 4 anak yang masih anak-anak pada masa perang. Moan Teka Iku pada masa perang secara internal dibantu oleh kedua istrinya dan anak-anaknya yang sudah dewasa dan keluarga besarnya seperti saudaranya Mo’an Iku Mitan, Mo’an Pitang Sadok (besan), Mo’an Hure Teka (anak), dan eksternal Mo’an Lela dan para kepala-kepala kampung, seperti tergambar dalam peta wilayah Maumere di masa Teka Iku (1904).BIO DATANama : TEKA IKUTempat, Tanggal lahir : Hubin, 1849 - …?Nama Orang Tua : Mo’an Mitan – Du’a Kotin PautanapuanKedudukan orang tua : Kepala Adat (Tanapuan)Kepala Watu Pitu (Dewan Desa)Pendidikan : INFORMALAgama : Aliran kepercayaan (tradisi)Warga Negara : IndonesiaJabatan : Kepala Adat (tanapu’an) tahun 1875Kepala Dewan Desa (Watu Pitu) tahun 1875Pemimpin perang suku, tahun 1880Kepala kampung (gai)1880Pemimpin perang antar suku (1900)Kapitan (wakil raja), 1902Pemimpin perang besar melawan kolonialisBelanda yang dibantu 3 raja setempatAlamat sebelum dibuang Hubin (sekarang Desa Teka Iku, Kec. KangaeAlamat setelah pembuangan : Sawah Lunto – Padang Sumatera BaratKesimpulanUraian singkat yang disarikan dari buku Memori perjuangan dan pengabdian Mo’an Teka Iku ditulis akhir tahun 2006, melewati empat kali seminar yaitu 5 Juli dan 25 Juli di kantor Bupati Maumere (1997) dan 16 Juni 2004 dan 27 November 2004 di Maumere serta didukung oleh tulisan L.Say berupa terjemahan dari Br. Petrus Laan,SVD (1904), judul Pemberontakan Teka (1991), tulisan Dr Piet Petu,SVD (1988), judul Teka Iku Pahlawan Sikka, tulisan B.L Kailola dalam bentuk Dokumen R. No.343 tahun 1904, gambar foto Teka Iku yang juga ada di ‘Metro File’, dan peta wilayah perang di Ondeafdeling Maumere yang meliputi bekas kerajaan Kangae, Nita dan Sikka merupakan bukti nyata kebenaran sejarah bahwa Patriotisme dan Kepahlawanan berdasarkan data dan fakta-fakta benar bukan dikarang-karang, yaitu:1. Bahwa kolonialis dan imperialis Belanda atas tiga kerajaan setempat di wilayah Maumere-Flores yakni kerajaan Kangae, kerajaan Nita dan kerajaan Sikka sudah tidak dapat dibenarkan keberadaanya atas sebuah wilayah yang telah dilakukan dari akar-akar budaya tradisi demokrasi, merdeka, berdaulat, adil, dan kemanusiaan yang dibangun oleh para pendiri, raja-raja primus inter pares yang disebut ratu nian tawa tana, berdasar filosofi ‘Litin giit mora nian ‘reget mangan mora tana.’2. Bahwa campur tangan kolonialis dan imperialis Belanda terhadap kedaulatan pemerintahan Governance para ratu nian tawa tana atas seluruh wilayah dan kekuasaannya adalah suatu bentuk pencaplokan, perampasan dan intervensi berbau Exploitation de L’home par lomme dengan sistem divide et impera yang sangat mengacaukan dan merugikan kepentingan rakyat yang dijajah, disingkirkan dan tidak diutamakan.3. Bahwa matinya hak-hak otonomi para raja yang melaksanakan sistem pemerintahan demokratis yaitu musyawarah untuk mufakat bersama para tua-tua adat tanah, para kepala suku (Du’a Mo’an Tana Pu’an Watu Pitu) demi kepentingan rakyat umum, sudah tidak dapat dipertahankan terus untuk hidup di bumi Maumere4. Bahwa penetapan pajak pendapatan kolonial Belanda secara sepihak dan tidak demokratis berupa 4 buah kelapa tiap pohon sekali panen adalah tindakan kolonialis yang kapitalis yang memperjelas eksploitasi tersebut di atas untuk segera dihilang lenyapkan.5. Bahwa kesadaran rakyat yang progresip akan visi, misi perjuangan rakyat mencapai klimaksnya yang disebut Nuhu Gete Teka Iku (Perang Besar Teka Iku) 1904 ditakut-takuti dan diancam oleh Posthouder B.l Kailola pada tanggal 20 Mei 1904 di kampung Beru Maumere, namun Mo’an Teka Iku tidak pantang mundur dari perjuangan dan perlawanan mereka atas ideologi kapitalis militeristik Belanda dengan motto perjuangan dan perlawanan “Mau Makan Lagi Daging Orang Putih,”6. Bahwa kemenangan Kolonial Belanda bersama para Raja-raja, adalah kemenangan militeristik yang tidak perlu dibanggakan, apalagi dengan cara yang sangat konservatip dengan tipu muslihat untuk berdamai, menangkap, dan membelenggu atas Mo’an Teka Iku dan kawan-kawan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tidak berperi kemanusiaan.7. Mereka rela ditangkap dan dipasung oleh Kolonial Belanda dan di bawa serta dibuang, dikawal oleh kapal militer Belanda bagai domba yang tidak mengembik di bawa ke tempat pembantian demi tanah air tercinta Flores untuk secara nasionalisme berkorban dan mati demi tanah air dan suku bangsanya, maka sudah sepantasnya dan layak Mo’an Teka Iku pahlawan Flores NTT (2005) mendapat penghormatan dan kemuliaan sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana pahlawan nasional dari daerah lainnya dalam bingkai NKRI.Saran-Saran1. Agar nama lapangan terbang Wai Oti yang pertama dibangun oleh Jepang untuk kemenangan perang Asia Timur Raya (Perang Dunia II) yang terletak dalam wilayah Perang Besar Teka Iku (1904), menjadi Bandara Teka Iku sesuai usul masyarakat sejak seminar pertama 19972. Agar nama Kabupaten Sikka yang sekarang dikembalikan ke kabupaten Maumere sesuai fakta sejarah. Saran ini didukung oleh tokoh masyarakat L.Say yang menitipkan ke penulis sejak Seminar terakhir (ke-4), 27 November 2004 di Dispenda Maumere Flores. Fakta lain dukungan masyarakat luas, baik masyarakat pendatang yang menggunakan bahasa asli Maumere (Krowe) dalam komunikasi bisnis, dan masyarakat Maumere di Luar kabupaten menamakan dirinya keluarga besar Maumere.3. Agar Pemerintah Kabupaten segera mendatangi tempat terakhir pembuangan Moan Teka Iku di Sawah Lunto Sumetera Barat dan keluarga di sana, sebagai kelanjutan usaha pemerintah kabupaten ke Medan Sumatera Utara (Januari 2006) yang tertundah