Powered By Blogger

Rabu, 23 November 2011

Moan Teka

Teka Iku (1849 – 1904) pahlawan daerah Nusa Tenggara Timur dua kali mengalami bottleneck mindset dari Pemerintah c.q. Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. terhadap usaha dan upaya masyarakat NTT khususnya masyarakat Kabupatan Sikka untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional R.I. sebagaimana halnya pahlawan nasional Indonesia lainnya Imam Bonjol, Patimura, Bung Tomo, I. Gde Agung, Slamet Riyadi, John Lie dan lain-lain.
Alasan Pemerintah melalui Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. di dalam dua suratnya : nomor 322/PS/XI/2006 & nomor 1019/PS/XXI/2009 tanggal 31 Desember 2009 sepertinya hanya melihat dan membaca peristiwa NUHU GETE – PERANG BESAR TEKA IKU 18 Mei 1904 satu abad silam sebagai bersifat lokal dan berskala kecil serta waktu singkat pada alinea pertama dan terakhir buku L. Say : Pemberontakan Teka, yang termuat lengkap dalam buku Memori Perjuangan & Pengabdian Mo’an Teka Iku edisi perdana, November 2006, terbitan Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta dan atau buku Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur 2005. Padahal perang itu sangat menggemparkan Posthouder (pejabat Belanda setempat) di Onderafdeeling Maumere, Keresidenan Timor, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan Ratu di Negeri Belanda (Dokumen R. Nomor 343, Thn. 1904, Arsip Nasional R.I. Jakarta).
Perlu diketahui masyarakat Kabupaten Sikka (Rakyat dan Pemerintah Daerah) telah melimpahkan usaha dan upaya ini kepada Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta untuk memperjuangkannya sesuai mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. (lihat hasil survey tentang Pahlawan Nasional. Kompas, Selasa, 10 Nopember 2009).
Maka untuk dan atas nama masyarakat Kabupaten Sikka dan masyarakat NTT pada umumnya sedari awal menyadari bahwa usulan mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional bagi almarhum Mo’an Teka Iku Pemimpin Perang Suku dan Pemimpin Perang Antar Kerajaan serta Pemimpin Perang Besar melawan penjajah kompeni Belanda bukanlah ”indah kabar dari rupa” melainkan fakta history yang aktual dan nyata serta penuh mitologis dan legendaris. Bukan juga latah dan ikutan-ikutan serta memaksakan kehendak pribadi melainkan seperti halnya Mo’an Teka Iku yang memiliki visi dan misi yang penuh integritas diri sehingga impamrih bangkit dan berperang melawan penjajah Belanda yang dibantu tiga Raja Tradisional: Ratu Nian Tawa Tana Sikka, Nita dan Kangae. Pun juga adalah karena pelanggaran harkat martabat masyarakat tradisi Ratu Nian Tawa Tana, oleh penjajah kompeni Belanda seperti penindasan dan penghisapan terhadap rakyat kecil (wong ciliknya Bu Mega) dengan antara lain pemungutan pajak kelapa yang sangat memberatkan rakyat kecil. Dan 18 Mei 1904 merupakan puncak gunung es sebagai akibat akumulasi proses penindasan dan penghisapan rakyat sejak Kompeni Belanda menerapkan politik Devide et impera seterima kekuasaan dari penjajah Portugis yang murah hati dan santun.
Teka Iku memang provokatif seperti tulis Dirjen dalam surat kedua penolakan usulan menjadi Pahlawan Nasional. Salahkah model provokasi ini bagi mereka yang dijajah dan ditindas bertahun-tahun untuk berontak melawan penjajah Belanda yang telah memperdaya tiga raja tradisi Ratu Nian Tawa Tana Sikka, Nita dan Kangae? Teka Iku hulubalang perang kerajaan Kangae, Nita dan Sikka adalah juga sebagai kapitan (wakil raja Sikka) tampil berani melawan karena menilai para raja telah terpedaya oleh praktek politik Devide et Impera Belanda yang sangat kejam terhadap rakyat ketimbang penjajah Portugis yang santun sebelumnya.
Untuk itu sejalan dengan salah satu Tagline Presiden R.I. dalam program KIB II ada baiknya perlu Debottlenecking Mindset untuk mempertimbangkan kembali dan menilai dengan jujur tulus adil nilai perjuangan Teka Iku secara scientifics, arts, dan morals. Perjuangan Teka Iku merupakan embrio kebangkitan perlawanan nasional empat tahun lebih awal dari kebangkitan nasional 20 Mei 1908. Itulah semangat perjuangan Mo’an Teka Iku Rebu Ba’it, Damar Jawa Da’an Dadin, Patar Hading ’Liwan Pitu Ele Bere, Pare Bura Wiwaga, Nara A’un Ele Potat. Perjuangan ini meneruskan amanah sang Ayah Kepala Waktu Pitu (Ketua Dewan) dengan tagline ”Kotin – Mitan Bao Blutuk, Bao Blutuk Bliro Wolon, Ele Ngarong Klereng Ha, Wewe Tena Wolet Lebe”.

Gambaran UmumGambaran umum singkat, struktur pemerintahan kolonialis Belanda di onderafdeling Maumere/Flores yang meliputi tiga kerajaan setempat masing-masing; Kangae, Nita dan Sika setelah diserahkan oleh pemerintah Portugis pada tahun 1859, berdasarkan perjanjian di Dili Timor (sekarang Timor Leste), Desember 1851. Namun, fakta bendera Belanda baru berkibar di ibu kota Maumere, Agustus 1879 dan di Sikka bekas kerajaan jajahan Portugis. Kerajaan Kangae dan Kerajaan Nita, tetap merdeka dan otonomi selama Portugis karena selama masa Portugis, mereka lebih banyak mengurusi masalah ekonomi perdagangan dan penyebaran agama Katolik.Bekas kerajaan Sikka Maumere, telah tunduk terhadap Portugis sejak tahun 1607 di mana para raja Sikka tunduk dan takluk terhadap penguasa Portugis. Raja Kangae dan raja Nita yang bergelar “Ratu Nian Tawa Tana” yang disapa Mo’an Ratu, adalah raja pilihan oleh para kepala adat tanah/tuan tanah (tanapu’an) dan para kepala suku sebagai wakil rakyat (watu pitu) sebagai bentuk demokrasi tua di wilayah ini, utama daerah pedesaan. Raja adat menganut tradisi demokrasi tua berdasarkan filosofi adat pada gambar 2, yang artinya ada dalam catatan kaki.Filosofi adat MaumereSetelah terjadi pemindahan kekuasaan Portugis ke dalam tangan kolonialis Belanda, pelan-pelan Maumere merupakan suatu wilayah jajahan oleh penguasaan militer Belanda (1879), belum ada pemerintahan sipil, dengan tujuan mempertahankan daerah jajahan dan jalur perdagangan. Titik-titik kekuasaan kolonialis Belanda adalah Kupang di pulau Timor, Larantuka dan Maumere di pulau Flores.Struktur kekuasaan pemerintahan kolonialis Belanda sebagai berikut: residen Kupang merupakan pusat kekuasaan desentralisasi di keresidenan Timor. Pusat kekuasaan dimaksud, kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif berada di satu tangan militer yaitu residen Kupang dan dibantu oleh kontrolir Timor, yang juga berkedudukan di Kupang Desentralisasi dimaksud seluruh keputusan yang diambil residen sebagai kepala pemerintahan, langsung bertanggung jawab kepada Ratu Belanda (Wihelmina) melalui Governoor Generaal (GG) Batavia.Keresidenan Timor meliputi pulau Bali disebelah barat sampai dengan Nederlands Timor di sebelah Timur, atau yang dahulu dikenal sebagai : Kleine Sunda Eilanden (Kepulauan Sunda Kecil), sekarang provinsi Bali, NTB dan NTT. Gezaghebber (pemegang kuasa) sebagai pembantu residen dan bertugas mengkoordinasi satu wilayah pulau/kepulauan; dan untuk Flores dan kepulauannya dikenal gezaghebber Larantuka, berkedudukan di Larantuka. Pasukan perintis Belanda (marchause) berkedudukan di Larantuka dan sering berjalan kaki ke Maumere terus ke barat Ende dan Ngada. Sering pasukan itu bentrok dengan laskar-laskar rakyat setempat.Posthouder (pemegang/pengawas pos), adalah perwakilan pemerintah kolonialis Belanda di suatu wilayah. Wilayah Maumere meliputi tiga kerajaan: Kangae, Nita, dan Sikka merupakan pos Kompeni dan ditempatkan seorang posthouder yang dibantu oleh seorang komandanti di Maumere (kota). Wilayah Maumere pada masa perjuangan Moan Teka Iku yang mencapai klimaks perjuangan yang dikenal dengan “Nuhu Gete Teka Iku”, atau perang besar Teka Iku, pada tahun 1904, residen Kupang dijabat oleh: F.A. Heckler, kontrolir Timor dijabat RLA Hellwig, gezaghebber Larantuka J. Misero dan posthouder Maumere B.L Kailola. Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Roosseboom.Visi PerjuanganVisi dan misi perjuangan tidaklah jatuh dari langit, tetapi ditanam oleh kedua orang tuanya (Mitan-Kotin) sejak masa kanak-kanak. Keluarga yang tak pernah kenal bangku pendidikan ini, namun karena alam dan ilham mempunyai filosofi hidup yang menyentuh batas kedalaman tanah dan cita-cita sampai menyentuh bulan yang lebih banyak aksi ketimbang reaksi melakukan upacara adat pada tahun 1851 yang disebut lebo kuat.6Pemberian nama (adopsi) yang memberi arti perjuangan masa depan juga menimbulkan perbantahan sampai pada seminar tahun 2004 Teka Iku atau Teka karena terdapat dua pribadi? Itulah keunikan sekaligus keunggulan dari meterai lebo kuat. Teori berkata bahwa budaya melahirkan pemimpin dan sebaliknya pemimpin melahirkan budaya. Teori menulis berdasar fakta yang telah dipraktekkan. Moan Mitan Baber, ayah kandung Iku (ama buan) pemimpin rakyat melahirkan budaya lebo kuat, melalui budaya lebo kuat melahirkan pemimpin perjuangan Teka Iku. Hal ini, menjadi jelas dan terang benderang bahwa warisan budaya, sejarah Teka Iku berbeda dengan warisan biologis atau hubungan darah yang mengenal dua pribadi.Kebenaran sejarah ini, sesuai dengan kesaksian ahli waris, Eliseus Moa Iku pada seminar sehari kepahlawanan Moan Teka Iku di Setda Maumere, 16 Juni 2004, dalam menjawab soal nama pemimpin perjuangan, ia mengatakan bahwa, pemimpin entah pemimpin perang tentulah seorang, bukan dua orang yaitu seorang diberi atau diserahkan untuk menyandang nama besar Teka Iku. Jawaban yang pas dengan makna lebo kuat, yang dibuat oleh koka nya sendiri (ayah kakek) Moan Mitan Pautanapuan.Visi yang diwariskan oleh kedua orang tuanya (Kotin-Mitan) kepada putra masa depan yang kelak bertambah besar dan bertambah hikma yang akan membebaskan negerinya Maumere secara keseluruhan dari penjajah, dan tidak membiarkan sebagian atau seorang pun dijajah oleh orang asing (Belanda). Gagasan asli, pada gambar 3 di bawah ini.Penanaman Visi PerjuanganBahwa perjuangan akan kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan sudah ditanam tidak hanya oleh kedua orang tuanya tapi oleh para leluhur, para pemimpin negeri Maumere ini seperti terdapat dalam gagasan utama Teka Iku menurut penulis ada pada Gambar 4, ini.Moan Teka IkuPada catatan satu liwut (liwut ha) = 4 buah, menunjukkan negeri ini telah hadir jauh sebelum tahun Masehi. Kita tahu bahwa matematika sudah ada 2000 tahun sebelum Masehi. Konsep matematika yang melandasi tradisi hidup mereka ialah pasangan seperti dua buah kelapa kering yang diikat menjadi satu oleh tali dari kulit buah kelapa disebut 1 tali (tali ha), dua botol tuak (bir) disebut plasu ha. Satu (1) tali tambah 1 tali adalah liwut ha.Bagi buah kelapa kering yang sudah ‘diliwut’ sampai 10 liwut, harus ditinggikan karena mencapai 1 subur (subur ha), artinya diletakan pada sebatang kayu yang dirikan di atas tanah, sehingga dari jauh sudah ketahuan berapa subur. Tetapi atas buah jagung yang kering juga tetap sama yaitu 1 liwut konsep empatan, kemudian 25 liwut sama dengan 1 bese (bese ha), kemudian 10 bese, 20 bese dan seterusnya. Apakah perbedaan konsep bilangan ini karena buah kelapa lebih besar daripada buah jagung? Bukan karena hanya buah kelapa yang dapat ‘disubur,’ buah mangga tidak dapat ‘disubur.’Bahwa pajak baru berupa kelapa 4 buah setiap pohon pada musim petik menjadi pemicu perang, ketika instruksi kolonialis Belanda kepada raja Sikka, untuk melaksanakan pemungutan dapatlah dipahami karena merupakan dasar bilangan untuk membangun satu subur kelapa menjadi kurang dan hal ini sangat dirasakan oleh kebanyakan penduduk yang hidupnya dari bertani yang telah dibebani oleh berbagai macam pajak termasuk pajak pohon kelapa, pajak kepala (belasting), pajak tembakau, kemiri, kopra, dan kerja paksa (rodi).Kemerdekaan yang dihembuskan membuat perilaku Teka Iku yang gemar bermain dari kampung ke kampung tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dalam berbicara, banyak inisiatif, berani dan bijaksana. Berkelahi dalam membantu teman-teman yang mengalami perlakuan tidak adil, taat terhadap orang tua. Kedua orang tuanya sangat bangga atas putra masa depan yang memberi harapan atas rakyatnya. Lebih-lebih ketika Teka Iku atas inisiatif sendiri, lebih banyak di luar rumah dalam latihan menunggang kuda, menggunakan senjata tajam, sampai latihan menembak dengan senjata berat (meriam).Ketika itu, bangsa Portugis mulai mengalami masalah dalam negeri mereka karena Portugis di bumi hanguskan tentara Prancis lebih-lebih pada serangan ke tiga, dan mengalami perlawan dari daerah-daerah jajahan di Amerika Latin sehingga berusaha menarik diri dari Flores ke Timor Leste, meninggalkan Flores, khusus Maumere tetap berada dalam pemerintahan lokal, ratu nian tawa tana, yang otonomi kecuali Sikka yang dijaga oleh tentara Portugis.Tahun 1875, Teka Iku dilantik tanapuan, oleh tanapuan Mitan, wilayah Hubin-Wolomude yang sekarang menjadi desa gaya baru Teka Iku, kecamatan Kangae. Sejak itu ia mulai dikenal oleh para tanapu’an dan watu pitu dari desa ke desa lintas wilayah kerajaan yang ada di Maumere-Flores. Dengan masuknya Belanda akhir 1879 yang didukung oleh raja Sikka, Teka Iku sebagai kepala adat tanah mulai berkomunikasi dan sosialisai dengan para raja, para kepala adat dan kepala-kepala suku serta kepala-kepala kampung dalam memahirkan kemapuan perangnya tidak hanya antar kampung, tapi memasuki tingkat wilayah kerajaan demi misi perjuangannya.Mo’an Teka Iku mempertanyakan mengapa Belanda yang sudah punya negeri di barat sana, koh jauh-jauh datang kemari ke tempat kita yang sudah punya negeri sejak zaman asal mula, apakah ingin menjajah dan mengeruk kekayaan dari rakyat miskin kita.9 Mengapa dalam gagasan atau visi perjuangan Moan Teka Iku berkata, kita orang bukan kami orang secara jelas tersirat tradisi demokrasi dan kita orang yang dimasud itu, apakah tingkat Maumere, atau tingkat Flores atau tingkat nusantara Indonesia?


Gagasan persatuan kesatuanManusia dikarunia oleh suatu kecerdasan dalam memberi nama mahkluk ciptaan Tuhan. Seperti bawang putih =hunga, bawang merah = somu, sedang kapal = jong, kapal laut = jong tahi, kapal terbang = jong horon, kapal selam = jong sugung. Jong Jawa terjemahan bebas kapal nusantara, sebab masyarakat mengenal Jawa let dan Jawa wawat, artinya Jawa di sebelah timur Maumere yaitu Larantuka dan pulau-pulau sebelah timur, sedangkan di sebelah baratnya adalah pulau Jawa, Sumatera dan lainnya.Data PerjuanganTingkat perjuangan terus meningkat dari antar kampung ke wilayah antar kerajaan sebagai tolak ukur untuk melawan Belanda yang besar dengan kekuatan yang besar yaitu:1. Tahun 1880, nama Teka Iku yang sudah dikenal dan menjadi catatan Belanda menjadi semakin tersohor karena perang wilayah kerajaan Sikka di Maumere melawan kerajaan Larantuka karena masalah pulau Besar dan pulau Permaan serta pelabuhan Nawang Kewa (1880). Perang dipimpin Mo’an Teka Iku dan Mo’an Juje Goleng dan berhasil mencabut bendera Belanda yang dipasang oleh raja Larantuka. Perang berakhir dengan kemenangan pihak Sikka, tapi kemudian tokoh Kangae, J.Goleng beralih ke pihak Larantuka. Sejak itu tokoh adat tanah Teka Iku diangkat menjadi Kepala Hubing -Wolomude oleh raja Sikka.2. Tahun 1885 atas tekanan kolonialis Belanda berhasil mencaplok kerajaan Nita, kemudian melantik Moan Digung da Silva menjadi raja atas kerajaan Nita bersama raja Sikka Andreas Jati da Silva pada 11 September 1885 oleh residen Kupang. Pelantikan di maumere yang dihadiri oleh para tokoh dan raja-raja yang diangkat oleh Belanda dengan menandatangani korte verklaring. Moan Teka Iku yang hadir dalam pelantikan itu melihat hubungan raja Sikka dan raja Larantuka belum pulih gara-gara perang 1880.3. Tahun 1900, perang pecah di Kangae antara Sikka lawan Kangae. Mulanya dimenangkan oleh Kangae dengan raja adatnya Mo’an ratu Keu dibantu J.Goleng dan raja Larantuka dengan pemimpin perang Jawa Uwok. Raja Sikka mengerahkan bala bantuan dari Nita dan Mbuli Nggela dengan pasukan 3000 orang yang dipimpin oleh Moan Teka Iku dan menang perang atas Kangae.4. Tahun 1902, Moan Teka Iku diangkat menjadi Kapitan (wakil raja) atas Hubin-Wolomude yang berkedudukan di Hubin oleh raja Sikka, pada saat Kangae dalam keadaan lemah, sehingga Belanda dengan mudah mengganti raja pilihan (Keu Nago) dengan Nai putra J.Goleng dan dilantik dengan dibacakan korte verklaring oleh residen Kupang untuk menjadi raja atas Kangae 9-12-1902.5. Tahun 1903, para raja baru sadar bahwa mereka diadu domba oleh kolonialis Belanda, tapi tidak berdaya melawan Belanda, kecuali Teka Iku yang mempunyai visi yang jelas memandang bahwa inilah saat yang tepat untuk melakukan perlawanan dengan persiapan membangun benteng pertahanan. Bergerak cepat dalam membangun jaringan dengan jalan damai terhadap rakyat dan tua-tua adat dan kepala-kepala dari masing-masing kerajaan dalam menghimpun kekuatan laskar rakyat yang besar dengan motto perjuangan yang menggetarkan dan daya pengaruh yang besar.6. Bukan kebetulan, Belanda yang merasa superior menindas rakyat dengan pajak baru empat buah kelapa setiap pohon setiap musim petik kelapa, membuat kemarahan rakyat sekaligus mendukung Teka Iku dalam melakukan perlawanan rakyat sesuai visi misi Teka Iku yang sudah lama diperjuangkan.7. Pajak baru, 4 buah kelapa sebagai pemicu perang besar yang dipimpin Teka Iku melawan Belanda dibantu oleh tiga raja Maumere, 18 Mei 1904. Hanya dalam hitungan hari Maumere seluruhnya dikuasai Teka Iku, yang disapa jenderal oleh Belanda pada 20 Mei 1904. Bala bantuan pemerintah Hindia Belanda segera mengirim kapal “G.G. Pel” merapat di laut Flores, tepatnya perairan Maumere 22 Mei 1904. Teka Iku tampil berani, dengan jawaban perang, ‘aku Teka Iku ayah Idang, burung gagak kumakan, burung kakatua kumakan.8. Laporan residen Timor di Kupang kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia dalam dokumen rahasia tahun 1904, tentang keberanian Teka Iku.9. Belanda dengan pasukan darat dan laut yang besar mekakukan serangan balik 3 Juni 1904 dan 5 Juni 1904 (lihat peta wilayah perang) Pasukan Belanda dipimpin langsung oleh residen Kupang, Heckler. Namun gagal, tanpa mencederai para pejuang rakyat pimpinan Teka Iku, dan bahkan mengakui Teka Iku sebagai ‘lilin malam.’10. Teka Iku terperangkap 7 Juni 1904 pagi, karena diajak oleh besan sekaligus ajudan Pitang untuk berunding dengan Belanda, daripada kita perang karena tempat persembunyian Teka Iku sudah diketahui Belanda melalui sorotan lampu kapal perang di malam hari yang mencari persembunyian Teka Iku. Adapun Pitang dijebak lebih dahulu 2 Juni 1904 dalam suatu pesta keluarga di Maumere, dan besoknya 3 Juni Belanda melakukan serangan pertama ke benteng Teka Iku di Baluele desa Pitang Sadok Kemudian Pitang dibebaskan 5 Juni 1904 pagi, sebelum serangan kedua ke desa Teka Iku dengan maksud Pitang membujuk Teka Iku untuk berunding, ternyata mereka dipasung.11. Pada 8 Juni 1904 laskar rakyat Teka Iku yang bertahan di Wukur-Hokor memenangkan perlawanan atas pasukan Belanda yang dibantu pasukan raja Sikka dari darat dan laut yang melakukan seangan ketiga. Kemenangan itu dirayakan dengan tarian Bebing, kemudian dibangun patung di Maumere dekat jalan Teka Iku. Ekskursi (serangan) ke Hokor oleh Belanda.12. Para pejuang Teka Iku, dan kawan-kawan dibuang ke luar residen Timor, meninggalkan Maumere bersama residen dalam kapal Pelikaan yang dikawal kapal perang ‘Mataram’ pada 30 Juni 1904. Mereka dikenai 3 hukuman yaitu hukum buang, hukum penjara dan hukum bayar ongkos perang serta melarang Hubin-Wolomude (sekarang desa Teka Iku) untuk dibangun rumah atau mengerjakan kebunnya. Walaupun mereka dibuang tetapi Moan Teka Iku tetap yakin akan kebenaran visi, misi mereka sesuai pesan terakhir, yaitu sampai beras putih dikupas pun nama sejarah perjuangan Teka Iku tidak akan hilang, ia tetap menyertai.13. Perjuangan Moan Teka Iku sangat berhasil, karena setelah dibuang kempanye pembangunan, perdamaian, keadilan, penghapusan atas budak, pajak dihapuskan atau diturunkan semua itu adalah hasil perjuangan Teka Iku, dan kawan-kawan yang dinikmati oleh rakyat dan penjajah, bukan oleh Teka Iku, dan kawan-kawan pejuang serta keluarganya di Maumere14. Perang perlawanan rakyat Flores terjadi pada masa akhir kekuasaan GG Rooseboom (1904) mempunyai pengaruh yang sangat luas terutama dalam arti konsep perjuangan sehingga pada saat pergantian kekuasaan dari G.G Rooseboom ke G.G van Heutz; (1904-1909) membuat van Heutz memberikan perhatian istimewa kepada daerah-daerah luar Jawa, yang dahulu dinamakan “buitenbezittingen” atau juga “buitengewesten” artinya “milik luar dan daerah luar. Colijn (1909) dikirim oleh G.G van Heutz mengunjungi Flores dalam rangka politik van Heutz. Pada kesempatan itu Colijn meninjau daerah jajahan dan seluruh stasi misi. Pokok permasalahan penting yang dibicarakan ialah masalah pendidikan dan pengajaran.15. Kunjungan Colijn ke Flores tidak serta merta dilaksanakan tetapi dijalankan secara pelan-pelan karena persoalan teknis dan ideologi. Sikap kolonialis bertambah baik lagi pada masa gubernur jenderal A.F.W Idenburg (1909-1916). Yang sejak Mei 1908 menjabat Menteri Koloni pada masa Heutz. Oleh karena itu 20 Frebuari 1911, di Lela-Maumere-Flores diadakan pertemuan antara wakil misi (P. Hoeberechts, van der Velden dan Looymans) dengan wakil pemerintah dari residensi Timor, kontrolir Hens dari Ende-Flores, dan penasihat urusan luar Jawa, Lulofs. Secara resmi tugas pendidikan seluruh Flores diserahkan kepada misi. Program pendidikan harus sama dengan program sekolah umum, artinya semua sama dengan keadaan di Jawa. Pelajaran tidak lagi dalam bahasa Maumere (tutur sara itan), tapi bahasa Melayu. Syarat lain ialah dalam jangka waktu tiga tahun sekolah seperti itu harus dibuka di Ende dan Flores Barat. Di kampung-kampung diadakan sekolah 3 tahun sebagai yang terdapat di desa-desa Jawa. Rencana ini menyenangkan hati G.G Idenburg maupun menteri urusan koloni, yaitu de Waal Malefijt. Dengan keputusan pemerintah 31 Maret 1913 ditentukan suatu kontrak, bahwa pengajaran Flores diserahkan kepada misi sampai dengan tahun 1922, dengan pengawasan dan kerja sama serta subsidi pemerintah. Beberapa sekolah mulai dijadikan sekolah standar selama 5 tahun dalam tahun 1913 seperti Larantuka dan Maumere (Lela & Wetakara).16. Pada tahun 1925 setelah para pejuang selesai menjalani hukum buang harusnya kembali ke Maumere, tetapi kekuatan kolonialis semakin kokoh. Di mana pemerintah kolonialis membubarkan dua kerajaan yaitu Nita dan Kangae, dan membebaskan kedua rajanya dengan pensiun maka seluruh Maumere dalam kerajaan Sikka yang dikendalikan oleh Don Thomas da Silva17. Hasil perjuangan Teka Iku dimanfaatkan oleh Belanda melalui Thomas da Silva, sampai kemerdakaan di mana Thomas da Silva terpilih menjadi Kepala daerah Flores pertama dan mendirikan yayasan pendidikan Thomas, di mana dananya dari uang restribusi kopra milik rakyat Maumere.18. Moan Teka Iku, dan Iku Mitan, Pitang Sadok, Hure Teka dan Lela adalah pejuang rakyat sejati, berasal dari rakyat biasa dan berjuang bersama rakyat dan untuk rakyat Flores sesuai dengan gagasan-gagasan yang ia sampaikan. Mereka dibuang dari Maumere ke Larantuka, Kupang. Moan Teka Iku dibuang lagi dari Kupang ke Makassar, Jawa Tengah, Aceh, terus ke Sumatera Barat, tepatnya di Sawah Lunto.Riwayat HidupBayi Teka Iku ditemukan oleh Mo’an Mitan Baber dan teman-temanya pergi berburuh babi hutan tahun 1849 di Mudung Hoder Maumere Timur, tepatnya di Watuwikir di atas batu besar. Perjalanan hidup bayi itulah memberi nama tempat-tempat yang dilalui karena kehausan dan kepanasan yang diberi air susu oleh ibu-ibu Muslimin di mana Moan Mitan Baber dan kawan-kawan singgahi. Atas kebaikan itu, mereka pertama singgah dan menamai Wai Ara, Kletang Bihan (ban bihan), dan Wai Pare, Bola Wolon, Koa dan sampai di Hubin (desa Teka Iku). Kisah ini secara rinci belum ditulis dalam buku Memori, kecuali secara umum tidak meyinggung secara rinci masing-masing tempat yang disebut di atas, yang semuanya berlokasi di Maumere Timur.Dipelihara dan diangkat oleh Mo’an Mitan Baber Pautanapuan, pada tahun 1851 dalam upacara lebo kuat, pemberian nama Teka Iku dan masuk dalam suku Pautanapuan serta mendapat pendidikan dan warisan marga/lepo Pautanapu’an. Perlakuan dan kasih sayang antara anak angkat (Teka Iku) dan anak kandung (Iku Mitan) oleh keluarga Mitan-Kotin adalah sama seperti anak kembar saja sejak masa kecil dan dibisiki roh perjuangan rakyat oleh kedua orang tuanya.Teka Iku yang cerdas, berani, pandai berbicara, inisiatif dan penuh daya pikat memahirkan latihan di luar rumah untuk aktif dalam kegiatan perang demi kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan yang beradab menjadi dewasa dan menikah adat dengan du’a Odat dari Hubin punya empat anak, kemudian du’a Gleung dari Wolomude mempunyai 11 anak, dan du’a Nean asal Ian-Wolokoli yang memberinya 4 anak yang masih anak-anak pada masa perang. Moan Teka Iku pada masa perang secara internal dibantu oleh kedua istrinya dan anak-anaknya yang sudah dewasa dan keluarga besarnya seperti saudaranya Mo’an Iku Mitan, Mo’an Pitang Sadok (besan), Mo’an Hure Teka (anak), dan eksternal Mo’an Lela dan para kepala-kepala kampung, seperti tergambar dalam peta wilayah Maumere di masa Teka Iku (1904).BIO DATANama : TEKA IKUTempat, Tanggal lahir : Hubin, 1849 - …?Nama Orang Tua : Mo’an Mitan – Du’a Kotin PautanapuanKedudukan orang tua : Kepala Adat (Tanapuan)Kepala Watu Pitu (Dewan Desa)Pendidikan : INFORMALAgama : Aliran kepercayaan (tradisi)Warga Negara : IndonesiaJabatan : Kepala Adat (tanapu’an) tahun 1875Kepala Dewan Desa (Watu Pitu) tahun 1875Pemimpin perang suku, tahun 1880Kepala kampung (gai)1880Pemimpin perang antar suku (1900)Kapitan (wakil raja), 1902Pemimpin perang besar melawan kolonialisBelanda yang dibantu 3 raja setempatAlamat sebelum dibuang Hubin (sekarang Desa Teka Iku, Kec. KangaeAlamat setelah pembuangan : Sawah Lunto – Padang Sumatera BaratKesimpulanUraian singkat yang disarikan dari buku Memori perjuangan dan pengabdian Mo’an Teka Iku ditulis akhir tahun 2006, melewati empat kali seminar yaitu 5 Juli dan 25 Juli di kantor Bupati Maumere (1997) dan 16 Juni 2004 dan 27 November 2004 di Maumere serta didukung oleh tulisan L.Say berupa terjemahan dari Br. Petrus Laan,SVD (1904), judul Pemberontakan Teka (1991), tulisan Dr Piet Petu,SVD (1988), judul Teka Iku Pahlawan Sikka, tulisan B.L Kailola dalam bentuk Dokumen R. No.343 tahun 1904, gambar foto Teka Iku yang juga ada di ‘Metro File’, dan peta wilayah perang di Ondeafdeling Maumere yang meliputi bekas kerajaan Kangae, Nita dan Sikka merupakan bukti nyata kebenaran sejarah bahwa Patriotisme dan Kepahlawanan berdasarkan data dan fakta-fakta benar bukan dikarang-karang, yaitu:1. Bahwa kolonialis dan imperialis Belanda atas tiga kerajaan setempat di wilayah Maumere-Flores yakni kerajaan Kangae, kerajaan Nita dan kerajaan Sikka sudah tidak dapat dibenarkan keberadaanya atas sebuah wilayah yang telah dilakukan dari akar-akar budaya tradisi demokrasi, merdeka, berdaulat, adil, dan kemanusiaan yang dibangun oleh para pendiri, raja-raja primus inter pares yang disebut ratu nian tawa tana, berdasar filosofi ‘Litin giit mora nian ‘reget mangan mora tana.’2. Bahwa campur tangan kolonialis dan imperialis Belanda terhadap kedaulatan pemerintahan Governance para ratu nian tawa tana atas seluruh wilayah dan kekuasaannya adalah suatu bentuk pencaplokan, perampasan dan intervensi berbau Exploitation de L’home par lomme dengan sistem divide et impera yang sangat mengacaukan dan merugikan kepentingan rakyat yang dijajah, disingkirkan dan tidak diutamakan.3. Bahwa matinya hak-hak otonomi para raja yang melaksanakan sistem pemerintahan demokratis yaitu musyawarah untuk mufakat bersama para tua-tua adat tanah, para kepala suku (Du’a Mo’an Tana Pu’an Watu Pitu) demi kepentingan rakyat umum, sudah tidak dapat dipertahankan terus untuk hidup di bumi Maumere4. Bahwa penetapan pajak pendapatan kolonial Belanda secara sepihak dan tidak demokratis berupa 4 buah kelapa tiap pohon sekali panen adalah tindakan kolonialis yang kapitalis yang memperjelas eksploitasi tersebut di atas untuk segera dihilang lenyapkan.5. Bahwa kesadaran rakyat yang progresip akan visi, misi perjuangan rakyat mencapai klimaksnya yang disebut Nuhu Gete Teka Iku (Perang Besar Teka Iku) 1904 ditakut-takuti dan diancam oleh Posthouder B.l Kailola pada tanggal 20 Mei 1904 di kampung Beru Maumere, namun Mo’an Teka Iku tidak pantang mundur dari perjuangan dan perlawanan mereka atas ideologi kapitalis militeristik Belanda dengan motto perjuangan dan perlawanan “Mau Makan Lagi Daging Orang Putih,”6. Bahwa kemenangan Kolonial Belanda bersama para Raja-raja, adalah kemenangan militeristik yang tidak perlu dibanggakan, apalagi dengan cara yang sangat konservatip dengan tipu muslihat untuk berdamai, menangkap, dan membelenggu atas Mo’an Teka Iku dan kawan-kawan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tidak berperi kemanusiaan.7. Mereka rela ditangkap dan dipasung oleh Kolonial Belanda dan di bawa serta dibuang, dikawal oleh kapal militer Belanda bagai domba yang tidak mengembik di bawa ke tempat pembantian demi tanah air tercinta Flores untuk secara nasionalisme berkorban dan mati demi tanah air dan suku bangsanya, maka sudah sepantasnya dan layak Mo’an Teka Iku pahlawan Flores NTT (2005) mendapat penghormatan dan kemuliaan sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana pahlawan nasional dari daerah lainnya dalam bingkai NKRI.Saran-Saran1. Agar nama lapangan terbang Wai Oti yang pertama dibangun oleh Jepang untuk kemenangan perang Asia Timur Raya (Perang Dunia II) yang terletak dalam wilayah Perang Besar Teka Iku (1904), menjadi Bandara Teka Iku sesuai usul masyarakat sejak seminar pertama 19972. Agar nama Kabupaten Sikka yang sekarang dikembalikan ke kabupaten Maumere sesuai fakta sejarah. Saran ini didukung oleh tokoh masyarakat L.Say yang menitipkan ke penulis sejak Seminar terakhir (ke-4), 27 November 2004 di Dispenda Maumere Flores. Fakta lain dukungan masyarakat luas, baik masyarakat pendatang yang menggunakan bahasa asli Maumere (Krowe) dalam komunikasi bisnis, dan masyarakat Maumere di Luar kabupaten menamakan dirinya keluarga besar Maumere.3. Agar Pemerintah Kabupaten segera mendatangi tempat terakhir pembuangan Moan Teka Iku di Sawah Lunto Sumetera Barat dan keluarga di sana, sebagai kelanjutan usaha pemerintah kabupaten ke Medan Sumatera Utara (Januari 2006) yang tertundah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar